Aku berdiri di antara alang-alang berwarna coklat muda.
Tempat ini mengingatkan aku pada seseorang yang amat aku cintai. Tempat
ini tempat favorite ku dan dia untuk berbicara. Dia, dia adalah
sahabatku.
@@@
“Acha?!” Acha menoleh
ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia lihat Ray tengah
berjalan menghampirinya. Acha membalas panggilannya dengan senyuman.
“Ada apa, Ray? Kau terlihat lelah.” Acha mengeluarkan tisu dari tas
yang ada di depannya dan memberikannya pada Ray.
“Terima kasih, Acha. Aku tadi lari-lari karena aku takut terlambat, tapi
ternyata jam yang ada di handphoneku kelebihan 15 menit. Menyesal aku
buru-buru datang ke sekolah.”
“Kau ini, lebih baik kau datang pagi kan dari pada kau selalu datang mepet waktu.”
“Ouuww, atau jangan-jangan kau yang menyeting waktu di handphone ku menjadi lebih cepat ya?”
Acha hanya tersenyum lugu sambil memperlihatkan wajah polosnya kepada
Ray yang tengah menatapnya. Akhirnya Acha terkena gelitikan dari Ray
karena ulahnya ini. Dasar, Ray. Dia sama sekali tak bisa menghargai
waktunya.
***
“Kau lihat gadis yang
berdiri di sana?” Ray menunjuk seorang perempuan cantik yang sangat
feminin dan lucu saat berada di kantin. Acha mengikuti arah telunjuk
Ray, sedetik kemudian Acha menatap Ray yang tengah memandang gadis itu.
“Hey, mengapa wajah kau menjadi seperti itu? Menjijikan.” Acha memukul
kepala Ray dengan buku yang sedang ia pegang. Ray tampak meringis
kesakitan.
“Sakit Acha, bisa-bisa aku menjadi amnesia ini gara-gara kelakuanmu.”
“Lagian kau ini. Menjijikan sekali tatapanmu kepada dia. Membuat orang-orang yang melihatmu ilfil saja.”
“Ishh, kau ini. Aku sedang terpesona melihat kecantikannya.”
“Dasar kau mata keranjang. Tak bisa diam ketika melihat wanita cantik sedikit saja.”
“Kau kenapa? Apa kau cemburu?”
“Ishh, mengapa kau berfikiran seperti itu? Tidak, aku tidak cemburu.”
Acha kelabakan sendiri ketika ia diberi pertanyaan seperti itu oleh Ray.
“Tenang saja, Acha. Kau tetap terlihat cantik di antara wanita yang ada
di muka bumi ini.” Blushh~ pipi Acha memerah ketika Ray mengatakan
kalimat tersebut. Diam-diam ia menundukkan kepalanya, ia berharap Ray
tak melihat semburat merah di pipinya saat ini. Acha sempat melirik Ray
yang tengah memakan sup daging di depannya. Ray terlihat tenang seakan
tak pernah terjadi apa-apa. Apakah Ray tak menyadari ucapannya barusan?
Acha melengos, ternyata Ray hanya menggodanya.
***
Sebuah mobil Ferrari berwarna merah tepat berhenti di suatu ladang
ilalang yang sangat indah. Muncullah seorang gadis dengan rambut kepang
yang dikuncir dua yang masih menggunakan seragam sekolahnya. Tak hanya
seorang gadis, dari arah pengemudi mobil tersebut, munculnya seorang
pria dengan rambut setengah gondrongnya dan masih mengenakan seragam
ikut turun mengikuti gadis itu berjalan.
“Ah, aku
tak pernah bosan dengan tempat ini. Tempat ini sangaaaaat indah. Iya
kan, Ray?” Acha tak mendengar sahutan dari pria yang tadinya berjalan
mengikutinya tersebut. Ia menengok ke belakang, dilihatnya pria itu
tengah tiduran di antara ilalang yang tumbuh tinggi. Pria itu tampak
memejamkan matanya. Acha tersenyum melihat Ray -pria itu- sepertinya
menikmati berada di tempat ini. Ia langkahkan kakinya menuju ke tempat
Ray, kemudian ia lakukan hal yang sama seperti yang Ray lakukan.
“Kau terlihat menikmati tempat ini, Ray.” Acha memulai pembicaraan, ia
memandang langit yang berada di atasnya dengan senyuman yang mengembang.
“Aku tak tau. Aku merasa damai berada di tempat ini.” Ray mulai membuka
matanya dan menatap Acha yang berada di sampingnya. Acha masih
memandang langit yang berwarna jingga tersebut. Semburat awan berwarna
putih ikut terlukis di dalam langit itu.
“Ya! Aku
pun demikian. Tempat ini begitu berarti untukku, Ray. Apakah kau ingat,
ini adalah tempat yang kita temukan saat kita tersesat waktu kita masih
SMP. Hahaha itu sangat konyol jika aku mengingat peristiwa itu kembali.”
Tawa lepas terlihat menghiasi wajah manis Acha.
Ya, sekitar 5 tahun yang lalu, Acha dan Ray sempat tersesat sampai ke
ladang alang-alang ini hanya karena mencari alamat guru yang harus
mereka sambangi. Ini dikarenakan Ray yang sok tau jalan memberi
instruksi kepada Acha bahwa jalan menuju rumah guru tersebut melewati
jalan tersebut karena kata Ray jalan tersebut merupakan jalan pintas,
namun ternyata bukan rumah guru yang mereka dapatkan malah mereka
mendapatkan pemandangan menajubkan.
“Oya Ray,
selain kau dan aku, apakah ada orang lain yang mengetahui tempat ini?”
Tanya Acha yang menghadap wajah Ray yang ada di sampingnya. Ray
tersenyum ketika pandangan mereka bertemu dan itu membuat Acha
menampakan semburat merah di pipinya.
“Tidak.
Tidak ada yang tau selain kau dan aku.” Acha menghela nafas lega.
Setidaknya jawaban tadi menwakili perasaannya saat ini.
“Cha?!” panggil Ray lirih
“Ya?” Acha kembali menolehkan kepalanya untuk menghadap Ray, kali ini
Ray tak memandangnya namun Ray memandang langit jingga saat itu.
“Jika aku tak lagi ada di sisimu, apakah kau akan mengajak seseorang untuk datang ke sini bersamamu?”
Acha nampak mengerutkan keningnya, apa maksud dari perkataan Ray tadi.
“Apa yang kau maksud, Ray? Aku tak mengerti.”
“Ahh tidak. Lupakan saja perkataanku tadi. Aku hanya iseng ingin
bercanda denganmu. Hey, ini sudah sore. Apakah kau ingin pulang
sekarang? Aku takut nanti kau pulang kemalaman. Takutnya ibumu
mencarimu. Tidak pantas seorang gadis yang masih menggunakan seragam
sekolah berkeliaran sampai malam.” Ray bangkit dari tidurannya,
dilihatnya jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya.
“Bagaimana? Kau mau pulang sekarang. Sudah jam5 sore, Acha.” Acha
tersadar dari lamunan atas perkataan Ray barusan.
“Oh, iya. Aku ingin pulang sekarang.”
Ray tersenyum lalu mengulurkan tangan kanannya kepada Acha yang masih
terduduk di hamparan alang-alang tersebut. Acha memperhatikan tangan Ray
lalu menatap wajah Ray. Sekali lagi Acha melihat senyum tulus dari
bibir Ray. Tak segan-segan Acha membalas senyuman dan juga membalas
uluran tangan Ray.
***
Acha berjalan
menuju kelas sambil membawa kotak makanan di tangannya. Senyuman pun
tak luput dari wajahnya, setiap langkah ia hentakan dengan gembira. Tak
sampai 10 menit, ia sudah berada di dalam kelas. Ia memperhatikan tiap
sudut kelas. Masih sepi, pikirnya. Tanpa pikir panjang, ia segera
berjalan menuju bangkunya. Diambilnya handphone yang berada di ranselnya
dan langsung memainkannya. Acha tatap lekat-lekat layar handphone
touchscreen-nya.
“Ray sms aku?” Acha segera membuka sms dari Ray tersebut.
‘Cha, hari ini aku tak bisa berangkat sekolah. Tiba-tiba badanku meriang. Maaf ya aku tak bisa menemanimu di sekolah hari ini.’
Acha menghela nafas kecewa, ‘sia-sia aku membawa bekal untuk Ray dari rumah.’ pikir Acha kecewa.
“Tapi, apakah Ray baik-baik saja? Tidak seperti biasanya dia sakit. Apa
karena kemarin kita terlalu lama di ladang alang-alangnya sehingga
membuat Ray menjadi sakit seperti ini. Ya ampun, Ray. Maafkan aku.”
Rutuk Acha sambil memukul-mukul kepalanya dengan tangannya.
Tidak tenang. Itu yang dirasakan Acha selama pelajaran berlangsung.
Acha terus-terusan menggertak-gertakkan jarinya pada meja sambil
memperhatikan meja Ray yang ada tepat di sampingnya. Ini adalah
kebiasaan Acha, jika ia dalam keadaan tidak tenang, ia akan
menggertakkan jarinya di meja atau bahkan di telapak tangannya sendiri.
“Aissh, mengapa aku menjadi merasa bersalah begini pada Ray? Pasti Ray
sakit karena aku. Ya sudahlah, nanti sepulang sekolah aku langsung
menjenguk dia. Aku khawatir.” Acha meyakini dirinya agar dia bisa
tenang.
***
“Ray-nya ada, tante?”
kata Acha setelah pintu rumah Ray terbuka dan terlihat seorang wanita
setengah paruh baya namun masih terlihat sangat cantik.
“Ray ada di kamarnya, Cha, kau ke sini untuk menjenguk Ray pasti. Kau
masuk saja ke kamarnya. Oh ya, Cha. Sebelumnya tante minta, tolong kau
bujuk Ray untuk makan, sedari tadi ia belum juga makan. Tante khawatir
kesehatan Ray menurun.”
“Tenang saja, tante. Acha
akan membujuk Ray untuk makan.” Acha memberikan senyuman tulus dari
bibirnya, ibu Ray membalas senyuman Acha tersebut. Setidaknya kehadiran
Acha bisa membantu.
Acha berjalan menyusuri tiap
tangga untuk menuju kamar Ray, sesampainya di depan kamar Ray, ia segera
mengetuk pintu kamar Ray dan terdengar suara yang memperbolehkan Acha
masuk ke dalam kamar tersebut. Acha segera membuka pintu kamar Ray dan
ia melihat sang pemilik kamar tengah tergeletak lemah di ranjang tempat
tidurnya. Acha berjalan mendekati ranjang tersebut.
“Kau sakit apa?” tanya Acha yang sudah duduk di samping Ray yang terbaring dengan senyuman dari bibir pucatnya.
“Aku tak tau, ketika aku bangun tidur semua badanku seakan mau patah
seluruhnya. Tapi sekarang aku sudah tak apa, mungkin besok aku sudah
bisa sekolah.”
Acha menyipitkan matanya sambil memperhatikan Ray dengan tajam.
“Kau mengapa menatapku seperti itu? Apakah ada yang salah dariku?”
tanya Ray takut ketika melihat wajah Acha yang seperti ingin memakannya
saat itu.
“Mana mungkin kau sudah sembuh? Lihat,
suhu tubuhmu masih panas.” Ucap Acha seraya menempelkan telapak
tangannya pada dahi Ray.
“Apa kau sudah meminum obatmu?”
“Belum.”
“Jelas kau belum meminumnya, makan saja kau belum. Sudah sekarang kau
makan dulu baru nanti kau meminum obatmu.” Acha segera mengambil kotak
makan yang ia simpan di dalam tas ranselnya lalu membuka tutup kotak
makan tersebut. Terlihat nasi goreng dengan telur mata sapi di dalam
kotak makan tersebut.
“Sengaja aku buatkan ini
untukmu, tadinya aku akan memberi makanan ini di sekolah tapi ternyata
kau tidak masuk ya sudah ku putuskan untuk memberikan makanan ini
sepulang sekolah sekalian aku menjengukmu. Sekarang kau makan ini nasi
goreng buatanku. Bukannya kau ingin sekali nasi goreng buatanku kan?”
Acha menyodorkan kotak nasi itu kepada Ray, Ray menatap Acha dan kotak
makan itu secara bergantian. Ia sangat heran, mengapa Acha tau apa yang
ia inginkan saat ini.
“Mengapa tidak dimakan? Mengapa hanya dilihat saja?” Ray tersentak mendengar ucapan Acha.
“Bukannya aku tak mau makan, Acha. Tanganku masih kaku untuk
digerakkan. Kalau kau bersedia, maukah kau menyuapiku makan?” Acha
ternganga mendengar permintaan Ray, namun dengan segera ia menyendokkan
nasi goreng tersebut ke sendok lalu menyuapkannya pada Ray.
“Kau memang handal dalam memasak, Cha. Nasi goreng buatanmu selalu
enak.” Puji Ray sambil mengunyah nasi goreng yang ada di mulutnya
tersebut. Acha terkikik mendengar ucapan Ray yang mungkin terdengar
tidak jelas itu.
“Sudahlah, kau makan dulu
makananmu baru kau berbicara. Dasar kau ini.” Derai tawa Acha kembali
menyeruak. Entah mengapa di saat Acha bersama Ray hanya rasa bahagia
yang Acha dapatkan.
***
Acha menatap
jam yang ada di pergelangan tangan kirinya, ia sudah menunggu hampir 45
menit di tempat ini. Seseorang yang ditunggunya tak kunjung datang. Ia
kembali meminum hot chocolate yang sudah dipesannya dari tadi
sampai-sampai hot chocolate tersebut sudah dingin.
“Maaf aku telat.” Acha menoleh ke sumber suara lalu memasang wajah
tidak nyaman. Seseorang yang mengucapkan perkataan itu langsung
tersenyum simpul.
“Aku tau aku salah, tadi aku
kejebak macet di jalan. Kau tak marah padaku kan?” Pria tersebut
langsung duduk di depan Acha sambil memohon-mohon agar Acha bersedia
memaafkannya.
“Kau tak tau, aku sudah menunggumu hampir 1 jam. Apa kau tak bisa menghubungiku?”
“Handphone aku ketinggalan di rumah, Cha. Maaf jika aku membuatmu
menunggu lama. Sebagai gantinya, aku akan membayar minumanmu itu.”
Pria itu kembali menggunakan alih-alih mentraktir untuk mendapatkan
maaf dari Acha. Acha tampak sedang menimang-nimang tawaran dari pria
tersebut kemudian ia memandang pria yang ada di depannya.
“Baiklah, aku terima tawaranmu. Tapi kau jangan senang dahulu, aku tak
akan memaafkan sebelum kau membawaku ke tempat biasa, Ray.” Acha
tersenyum miring setelah mengucapkan permintaannya tersebut.
***
“Ray, sini !!” ajak Acha sembari memainkan kameranya.
“Sudahlah Acha, aku lelah. Kau tak tau apa, kau sudah berputar
mengelilingi ladang ilalang ini berkali-kali dan aku mengikutimu.” Ray
duduk di hamparan ilalang sambil meluruskan kakinya.
“Kau ini laki-laki tapi kau lemah seperti perempuan. Memalukan.”
“Kau menghinaku atau kau memujiku? Aku juga bisa lelah Acha.” Ucap Ray
dengan nada yang cukup tinggi sehingga membuat Acha sedikit tersentak.
“Ray, bukan maksudku berkata seperti itu. Maafkan aku, Ray.” Acha
berjalan menuju ke arah Ray dan duduk di samping Ray dengan wajah
memelas.
“Ray, kau marah padaku? Aku minta maaf
padamu.” Acha memegang lengan Ray sambil menggoyang-goyangkan lengan
Ray. Ray sendiri, ia menatap lurus tanpa memperdulikan Acha yang kini
ada di sampingnya.
“Maafkan aku, Ray.”
“Apa kau tak tau? Aku melakukan ini demi kesenanganmu, Cha. Aku takut
suatu saat aku tak bisa menemanimu lagi di tempat ini. Aku hanya
ingin,,, aku hanya ingin membuat bahagia. Maafkan aku jika aku tak mampu
membuatmu bahagia.” Ray tampak menundukkan kepalanya, Acha yang bingung
dengan perkataan Ray langsung mengangkat dagu Ray dan mengarahkan mata
Ray untuk menatap matanya.
“Kau tak perlu meminta
maaf padaku, Ray. Perlu kau tau, aku selalu bahagia ada di sampingmu.”
Acha menyenderkan kepalanya pada pundak Ray yang sekarang berada di
sampingnya.
‘Aku sudah bahagia, Ray. Aku sudah
bahagia jika aku bersamamu dan aku lebih bahagia lagi dengan keadaan
seperti ini’ Acha merangkulkan lengannya pada lengan Ray. Ia menutup
matanya dan menikmati angin semilir sore hari itu. Ray pun demikian, ia
memejamkan matanya dan ikut terhanyut di dalam pikiran masing-masing.
Terlihat tangan Ray tengah menyentuh telapak tangan Acha. Sungguh, yang
mereka inginkan saat ini adalah, andai waktu bisa terhenti.
***
Suara instrumental merdu terdengar dari headset milik Acha, acha kini
sedang berada di dalam kelas. Ia memang sengaja datang pagi karena ia
bertugas melaksanakan piket kelas. Acha terhanyut dalam setiap melodi
yang terlantun dalam lagu yang ia dengarkan hingga ia merasakan ada
sentuhan di pundaknya. Ia membuka matanya lalu menatap seseorang yang
menyentuh pundaknya itu.
“Hay Cha.” Acha melepas headsetnya lalu tersenyum pada seseorang tersebut.
“Oh, hay Sheil. Ada perlu apa?” tanya Acha melihat Sheila, teman kelas sebelahnya.
“Maaf jika aku menganggu waktumu. Aku datang ke sini hanya ingin
bertanya, apakah Ray sudah datang?” Acha tampak mengerutkan keningnya.
“Ray?”
“Iya. Apakah Ray sudah datang?” ulang Sheila tersenyum manis.
“Oh, Ray. Belum sepertinya, mungkin dia datang mepet seperti biasa. Ada perlu apa? Mungkin aku bisa membantumu?”
“Aku ingin mengembalikan ini pada Ray. Ucapkan terima kasih padanya
karena kemarin malam aku diperbolehkan meminjam jaketnya karena udara
kemarin malam begitu dingin.” Sheila memberikan jaket itu kepada Acha.
Acha menerimanya dengan bingung.
“Semalam kau pergi berdua dengan Ray?”
“Iya, Cha. Ya sudah, aku harus pergi. Ada tugas yang mesti aku
selesaikan di kelas. Sekali lagi terima kasih, Acha.”
Sheila pergi meninggalkan Acha dengan sejuta tanya di benak Acha. Ada
perlu apa Ray dan Sheila bertemu? Apa mungkin mereka,,,
***
Dering handphone terdengar dari meja belajar Acha. Acha yang memang
baru saja selesai mandi bergegas mengambil handphone-nya lalu
menempelkannya pada telinganya.
“Ya hallo. Di sini dengan Acha. Ada apa Ray?” tanya Acha setelah mengangkat telepon tersebut.
“Oh, kau sudah berada di bawah. Oke, sebentar lagi aku turun menemui.
Kau tunggu saja.” Acha segera menutup telepon tersebut lalu berjalan
menuju ke lantai bawah untuk menemui Ray.
“Ada apa, Ray?” ucap Acha yang melihat Ray tengah duduk di depan mobil Ferrari-nya.
“Aku ingin mengajakmu pergi ke ladang ilalang. Kau tak sibuk kan?”
“Oh tidak, aku sangat senang jika kau mengajakku pergi. Tunggu
sebentar, aku akan mengambil tasku di dalam. Lebih baik kau menungguku
di dalam mobilmu saja.” Ray hanya mengangguk lalu mengikuti perintah
Acha. Mungkin ini saatnya, pikirnya.
***
“Mengapa kau mengajakku ke tempat ini? Biasanya aku yang selalu
mengajakmu bukan malah kau yang mengajakku.” Ray tersenyum simpul
mendengar ucapan Acha. Ia menoleh ke Acha.
“Apa aku tak boleh mengajakmu ke tempat ini?”
“Oh tidak tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya heran saja pada dirimu.
Akhir-akhir ini kau sedikit membuatku bingung.”
“Aishh itu semuanya hanya perasaanmu saja.” Acha hanya mengangguk-angguk
menanggapi ucapan Ray. Ia kembali menatap hamparan ilalang di
hadapannya.
“Aku ingin sedikit bercerita denganmu, Cha.” Ucap Ray yang masih memandang ilalang di hadapannya.
“Kau tau, ternyata rasanya mencintai seseorang itu menyakitkan untukku.
Setiap hari aku harus memikirkan gadis itu sampai-sampai waktuku
tersita karenanya. Setiap hari aku harus memandang wajahnya karena jika
tidak, aku tidak akan bisa tidur malam karena merindukannya. Setiap hari
aku harus menanti senyumannya karena jika tidak, senyumanku tak akan
bisa tulus kuberikan untuk orang-orang di sekitarku. Setiap hari aku
selalu mendengar suaranya karena jika tidak, aku tidak akan menjadi
setegar biasanya. Jatuh cinta memang membuatku gila, Cha. Aku tak tau
bagaimana aku harus bisa menyikapinya. Ini terlalu membuatku terbebani
dan membuatku lelah.” Acha menatap Ray tak percaya, jadi selama ini Ray
sedang jatuh cinta. Tapi dengan siapa?
“Beruntung
sekali perempuan yang kau cintai, Ray. Aku ikut senang dengan ini
semua.” Acha memberikan senyum yang mungkin senyum palsu dari bibir
mungilnya. Ia berusaha menahan agar ia tak menangis mendengar perkataan
Ray ini.
“Perlu kau tau, Ray. Cara mengekspresikan
ketulusanmu adalah dengan hatimu dan cara mengungkapnya adalah dengan
tatapan mata. Jika kau ingin mengungkapkan perasaanmu, tatap matanya dan
katakan bahwa kau mencintainya.” Ucap Acha kembali tersenyum sambil
menatap mata Ray yang juga tengah menatapnya.
“Cha?!” panggil Ray lirih sambil meraih kedua tangan Acha. Acha
tersentak dan menatap tangannya yang tengah digenggam oleh Ray.
“Ray, kau?”
“Aku
mencintaimu.” Ucap Ray sembari memberikan kecupan hangat di kening Acha
cukup lama. Acha menganga, ia tak percaya akan ini. Ray melepas
kecupannya lalu menatap mata Acha dalam.
“Kau bilang cara
mengekspresikan ketulusan adalah dengan hati dan cara mengungkapkannya
dengan tatapan mata. Dan aku melakukan apa yang kau ucapkan, Cha. Ya,
aku mencintaimu.” Setetes air mata jatuh di pipi Acha saat itu, segera
ia peluk tubuh Ray yang ada di hadapannya dengan erat.
“Ray, saranghae.” Balas Acha tersenyum.
***
Acha berjalan menuju kelasnya dengan gembira. Senyuman sama sekali tak
lepas dari bibirnya. Sore itu merupakan hari terindah baginya. Ya
walaupun ia tak menjalin hubungan dengan Ray, setidaknya mereka sudah
mengetahui perasaan masing-masing. Sesampainya di kelas, Acha melihat
pemandangan yang menyesakkan baginya. Begitu menyesakkan. Ia melihat Ray
tengah tertawa riang dengan Sheila. Tak segan-segan Ray merangkul
pundak Sheila sambil memainkan poni Sheila yang ada di sampingnya. Ingin
sekali Acha menangis saat itu juga. Jadi apa maksud kemarin sore? Acha
melangkahkan kakinya ke tempat Ray dan Sheila duduk.
“Permisi, aku ingin menaruh tasku di tempat dudukku.” Ray dan Sheila
menoleh ketika melihat Acha berdiri di sampingnya.
“Cha, aku ingin memberitahumu sesuatu. Kenalkan ini Sheila.” Ucap Ray sambil berdiri di samping Acha.
“Tanpa kau beritahu, aku juga sudah tahu bahwa dia Sheila, Ray.” Balas Acha malas.
“Oh tidak! Maksud aku, dia Sheila. Kekasihku.”
Seperti tersambar petir ketika Ray mengatakan itu. Rasa sesak menyeruak
di hati Acha saat itu. Tidak, tidak, Acha tidak boleh menangis di sini.
Acha menghela nafas panjang sambil memperhatikan Ray dan Sheila yang
berada di hadapannya.
“Kau beruntung mendapatkan
Ray, Sheil. Jaga Ray baik-baik dan untuk kau, Ray. Jaga Sheila
baik-baik, jangan kau sakiti dia. Sampai aku tau kau menyakiti dia, akan
berhadapan denganku nanti. Selamat ya,,” Acha mengulurkan tangannya
pada Sheila, Sheila membalas uluran tangan Acha dengan senyuman begitu
pula dengan Ray.
“Oh iya sampai lupa, maafkan aku.
Aku harus pergi ke ruang guru sebentar. Ada berkas yang mesti aku
ambil. Bersenang-senanglah kalian di sini. Aku pergi dahulu.”
Acha segera meninggalkan tempat itu, tepat ketika ia berbalik, air mata
yang sudah ia tahan langsung terjatuh di pipinya. Ia berjalan menuju ke
belakang sekolah. Ia menumpahkan segala isi hatinya di tempat tersebut.
Ia menangis sejadi-jadinya sampai-sampai ia lupa waktu bahwa bel masuk
sudah berbunyi. Namun ia juga tak kunjung masuk ke dalam kelas.
“Mengapa kau mengatakan mencintaiku namun kau malah seperti ini, Ray?
Kau menyakitiku. Sungguh! Kau menyakitiku.” Acha kembali mengusap air
matanya namun percuma, air mata itu kembali menetes di pipinya.
“Ya Tuhan, ini terlalu menyakitkan untukku. Kejadian ini begitu
menorehkan luka yang dalam di hatiku. Sungguh, aku tak mampu, aku tak
mampu menahan ini. Aku,,, aku,,, aku,,, terlalu mencintai Ray, ya Tuhan.
Aku tak bisa manahan perasaan ini.” Acha terkulai lemas di bawah pohon
belakang sekolah saat itu. Salah kan ia memiliki perasaan ini?
***
Setelah kejadian itu, Acha berusaha untuk melupakan perasaannya itu
terhadap Ray. Ketika ia bertemu dengan Ray, ia berusaha sebisa mungkin
bersikap biasa. Hingga suatu saat Acha mendapat kabar bahwa Ray pindah
ke Singapura. Acha begitu terpukul, mengapa Ray tak mengabari dirinya?
Mengapa harus orang lain yang memberitahukannya? Mengapa bukan Ray
sendiri? Keadaan ini membuat kesehatan Acha drop, namun selang beberapa
minggu, Acha berusaha untuk melepaskan Ray.
Hingga
6 bulan kemudian, Acha sudah lulus SMA. Masa SMA yang mungkin baginya
masa SMA yang kelam karena harus kehilangan orang yang disayangnya. Acha
memandang foto yang sudah lama berada di dalam dompetnya. Foto Ray
ketika dahulu mereka bermain di ladang ilalang beberapa bulan yang lalu.
Acha menghela nafas, sudah berapa lama ia tak bertemu dengan Ray? Sudah
berapa lama ia tak berkunjung ke ladang ilalang tersebut? Ia kembali
memandang foto tersebut. Tidak, Acha tak boleh merindukan Ray. Ray sudah
bersama orang lain, ia tak pantas jika ia harus merindukan Ray.
“Acha?!” Acha menoleh dan mendapati Sheila berdiri di sampingnya. Acha
tersenyum melihat Sheila yang ada di hadapannya.
“Sheila, apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Silahkan duduk.” Acha
mempersilahkan Sheila untuk duduk di hadapannya. Sheila mengikuti
perkataan Acha.
“Aku tau kau ada di tempat ini. Di cafe ini.” Ucap Sheila.
“Kau tau aku sering ke tempat ini?”
“Ya, dan itu Ray yang memberitahuku.” Sheila menunduk sejenak lalu
menatap Acha yang mungkin saat itu terlihat lesu ketika mendengar kata
Ray.
“Bagaimana kabar Ray, Sheil?” tanya Acha lirih.
“Sepertinya kau harus tau yang sebenarnya. Ray,,,”
***
Acha menatap seorang pria yang terbaring lemah di atas ranjang tempat
tidur rumah sakit. Suara detak jantung terdengar di ruangan serba putih
itu. Acha berjalan menghampiri pria tersebut yang tengah tertidur dengan
oksigen yang dikenakan pria tersebut. Air mata tak luput jatuh
membasahi pipi Acha. Perlahan langkah Acha berhenti tepat di samping
pria tersebut. Acha genggam tangan pria itu dengan rasa rindu.
“Ray, ini aku.” Ucap Acha sambil menahan tangisnya.
“Aku sudah tau semuanya. Mengapa kau tak bercerita sejak awal padaku?
Kau jahat, Ray. Selama 6 bulan ini, kau membiarkan aku hidup tanpamu.
Perlu kau tau, aku selalu memikirkanmu.” Tangis Acha tak bisa terbendung
lagi, kini air matanya benar-benar tumpah dari pelupuk matanya.
“Acha,,” suara lirih tersebut membuat Acha tersenyum. Acha tersenyum dalam tangisnya.
“Ray, kau sudah bangun. Sudah, lebih baik kau istirahat saja. Supaya
kau cepat sembuh.” Ray menggeleng, ia melepas masker oksigennya lalu
tersenyum tipis.
“Aku ingin ke ladang ilalang bersamamu, Cha.” Pinta Ray lemah
“Tidak sekarang, Ray. Kau harus sembuh dahulu baru nanti kita ke sana bersama-sama.”
“Aku ingin sekarang, Cha.”
“Ray, kumohon. Kau jangan seperti ini.” Acha menatap Ray dengan air mata yang sudah tak terbendung lagi.
“Untuk yang terakhir kali, Cha.” Acha menatap Ray sejenak, Ray
tersenyum. Acha mengangguk dan membalas senyuman Ray.
***
Udara sore itu sangat dingin, Acha berjalan sambil mendorong kursi
roda. Acha berusaha untuk tidak menangis. Setelah sampai di tengah
hamparan ilalang yang kini tingginya sudah melampui Acha, Acha segera
membantu Ray untuk duduk di bawah, di hamparan ilalang ini. Setelah Ray
sudah duduk di bawah, Acha menyusul duduk di samping Ray. Ray segera
menyenderkan kepalanya pada pundak Acha.
“Kau tau,
Cha. Sudah lama aku ingin mengatakan hal ini padamu. Tapi aku tak mau
membuatmu sedih, aku tak mau kau tau bahwa aku mengidap kanker
paru-paru. Aku tak mau melihat air mata dari mata indahmu. Maafkan aku
sudah membuatmu kecewa, Cha.” Ray menggenggamkan tangannya pada Acha.
“Aku tak tau harus bagaimana caranya agar kau membenciku dan akhirnya
kau meninggalkanku. Dan sampai akhirnya aku meminta Sheila untuk
berpura-pura menjadi kekasihku agar kau membenciku karena sebelumnya aku
mengatakan cinta padamu. Sesungguhnya aku tak mau melakukan ini, Cha.
Namun aku terpaksa melakukan ini. Maafkan aku.” Acha hanya diam
mendengar setiap ucapan Ray. Air mata yang sudah berusaha ia tahan pada
akhirnya harus jatuh juga.
“Sekarang kau sudah tau semuanya. Kau sudah tau bahwa aku sakit. Sakit yang sudah tak bisa disembuhkan lagi.”
“Ray, cukup. Cukup kau mengatakan ini semua.” Sela Acha terisak.
“Aku,, aku,, tak mau mendengarkan ini lagi. Apapun yang terjadi padamu,
aku akan tetap mencintaimu. Aku akan selalu ada untukmu.” Acha terisak
ketika mengucapkan kalimat ini. Entahlah, saat ini hatinya seakan remuk
memandang seseorang yang dicintainya menderita seperti ini.
“Akhirnya aku bisa pergi dengan tenang, Cha.”
“Ray, sudahlah. Kau jangan mengatakan itu.”
“Cha, berjanjilah padaku. Kau akan membawa seseorang yang kau cintai
besok ke tempat ini setelah aku pergi nanti. Dan berjanjilah kau akan
menyimpan perasaan ini di hatimu selalu.”
“Ray, jangan pergi,,,” Acha mengeratkan pelukannya, ia tak ingin melepaskan Ray.
“Dan perlu kau tau, Cha. Aku selalu mencintaimu. Ku mohon padamu, Cha. Ciumlah aku.”
Acha menatap mata sembab Ray, dengan cepat Acha segera mencium kening
Ray lama. Hingga pada akhirnya tangan yang tadinya menggenggam erat
tangan Acha langsung kendur. Acha menangis, menangis dalam posisi
mencium kening Ray. Acha melepaskan ciumannya dan langsung memeluk tubuh
Ray yang sudah terbujur kaku di sampingnya. Ray, akan menjadi kenangan
terindah bagi Acha.
@@@
Sebuket
bunga mawar putih Acha letakkan di atas nisan berwarna merah tersebut.
Nisan di antara hamparan ilalang indah. Acha tersenyum memandang foto
yang tertempel di atas nisan tersebut. Setetes air mata jatuh membasahi
pipi Acha.
“Maafkan aku, Ray. Aku tak bisa
menepati janjimu. Aku tak bisa membawa pria yang aku cintai ke tempat
ini karena pria yang aku cintai sudah berada di tempat ini. Untuk
selamanya.” Acha tersenyum memandang nisan beserta foto yang berada di
atas nisan tersebut.
_THE END_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar