Jumat, 15 Maret 2013

The Way To Break Up

 Aku berdiri di antara alang-alang berwarna coklat muda. Tempat ini mengingatkan aku pada seseorang yang amat aku cintai. Tempat ini tempat favorite ku dan dia untuk berbicara. Dia, dia adalah sahabatku.

@@@
                “Acha?!” Acha menoleh ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia lihat Ray tengah berjalan menghampirinya. Acha membalas panggilannya dengan senyuman.
                “Ada apa, Ray? Kau terlihat lelah.” Acha mengeluarkan tisu dari tas yang ada di depannya dan memberikannya pada Ray.
                “Terima kasih, Acha. Aku tadi lari-lari karena aku takut terlambat, tapi ternyata jam yang ada di handphoneku kelebihan 15 menit. Menyesal aku buru-buru datang ke sekolah.”
                “Kau ini, lebih baik kau datang pagi kan dari pada kau selalu datang mepet waktu.”
                “Ouuww, atau jangan-jangan kau yang menyeting waktu di handphone ku menjadi lebih cepat ya?”
                Acha hanya tersenyum lugu sambil memperlihatkan wajah polosnya kepada Ray yang tengah menatapnya. Akhirnya Acha terkena gelitikan dari Ray karena ulahnya ini. Dasar, Ray. Dia sama sekali tak bisa menghargai waktunya.

***
                “Kau lihat gadis yang berdiri di sana?” Ray menunjuk seorang perempuan cantik yang sangat feminin dan lucu saat berada di kantin. Acha mengikuti arah telunjuk Ray, sedetik kemudian Acha menatap Ray yang tengah memandang gadis itu.
                “Hey, mengapa wajah kau menjadi seperti itu? Menjijikan.” Acha memukul kepala Ray dengan buku yang sedang ia pegang. Ray tampak meringis kesakitan.
                “Sakit Acha, bisa-bisa aku menjadi amnesia ini gara-gara kelakuanmu.”
                “Lagian kau ini. Menjijikan sekali tatapanmu kepada dia. Membuat orang-orang yang melihatmu ilfil saja.”
                “Ishh, kau ini. Aku sedang terpesona melihat kecantikannya.”
                “Dasar kau mata keranjang. Tak bisa diam ketika melihat wanita cantik sedikit saja.”
                “Kau kenapa? Apa kau cemburu?”
                “Ishh, mengapa kau berfikiran seperti itu? Tidak, aku tidak cemburu.” Acha kelabakan sendiri ketika ia diberi pertanyaan seperti itu oleh Ray.
                “Tenang saja, Acha. Kau tetap terlihat cantik di antara wanita yang ada di muka bumi ini.” Blushh~ pipi Acha memerah ketika Ray mengatakan kalimat tersebut. Diam-diam ia menundukkan kepalanya, ia berharap Ray tak melihat semburat merah di pipinya saat ini. Acha sempat melirik Ray yang tengah memakan sup daging di depannya. Ray terlihat tenang seakan tak pernah terjadi apa-apa. Apakah Ray tak menyadari ucapannya barusan? Acha melengos, ternyata Ray hanya menggodanya.

***
                Sebuah mobil Ferrari berwarna merah tepat berhenti di suatu ladang ilalang yang sangat indah. Muncullah seorang gadis dengan rambut kepang yang dikuncir dua yang masih menggunakan seragam sekolahnya. Tak hanya seorang gadis, dari arah pengemudi mobil tersebut, munculnya seorang pria dengan rambut setengah gondrongnya dan masih mengenakan seragam ikut turun mengikuti gadis itu berjalan.
                “Ah, aku tak pernah bosan dengan tempat ini. Tempat ini sangaaaaat indah. Iya kan, Ray?” Acha tak mendengar sahutan dari pria yang tadinya berjalan mengikutinya tersebut. Ia menengok ke belakang, dilihatnya pria itu tengah tiduran di antara ilalang yang tumbuh tinggi. Pria itu tampak memejamkan matanya. Acha tersenyum melihat Ray -pria itu- sepertinya menikmati berada di tempat ini. Ia langkahkan kakinya menuju ke tempat Ray, kemudian ia lakukan hal yang sama seperti yang Ray lakukan.
                “Kau terlihat menikmati tempat ini, Ray.” Acha memulai pembicaraan, ia memandang langit yang berada di atasnya dengan senyuman yang mengembang.
                “Aku tak tau. Aku merasa damai berada di tempat ini.” Ray mulai membuka matanya dan menatap Acha yang berada di sampingnya. Acha masih memandang langit yang berwarna jingga tersebut. Semburat awan berwarna putih ikut terlukis di dalam langit itu.
                “Ya! Aku pun demikian. Tempat ini begitu berarti untukku, Ray. Apakah kau ingat, ini adalah tempat yang kita temukan saat kita tersesat waktu kita masih SMP. Hahaha itu sangat konyol jika aku mengingat peristiwa itu kembali.” Tawa lepas terlihat menghiasi wajah manis Acha.
                Ya, sekitar 5 tahun yang lalu, Acha dan Ray sempat tersesat sampai ke ladang alang-alang ini hanya karena mencari alamat guru yang harus mereka sambangi. Ini dikarenakan Ray yang sok tau jalan memberi instruksi kepada Acha bahwa jalan menuju rumah guru tersebut melewati jalan tersebut karena kata Ray jalan tersebut merupakan jalan pintas, namun ternyata bukan rumah guru yang mereka dapatkan malah mereka mendapatkan pemandangan menajubkan.
                “Oya Ray, selain kau dan aku, apakah ada orang lain yang mengetahui tempat ini?” Tanya Acha yang menghadap wajah Ray yang ada di sampingnya. Ray tersenyum ketika pandangan mereka bertemu dan itu membuat Acha menampakan semburat merah di pipinya.
                “Tidak. Tidak ada yang tau selain kau dan aku.” Acha menghela nafas lega. Setidaknya jawaban tadi menwakili perasaannya saat ini.
                “Cha?!” panggil Ray lirih
                “Ya?” Acha kembali menolehkan kepalanya untuk menghadap Ray, kali ini Ray tak memandangnya namun Ray memandang langit jingga saat itu.
                “Jika aku tak lagi ada di sisimu, apakah kau akan mengajak seseorang untuk datang ke sini bersamamu?”
                Acha nampak mengerutkan keningnya, apa maksud dari perkataan Ray tadi.
                “Apa yang kau maksud, Ray? Aku tak mengerti.”
                “Ahh tidak. Lupakan saja perkataanku tadi. Aku hanya iseng ingin bercanda denganmu. Hey, ini sudah sore. Apakah kau ingin pulang sekarang? Aku takut nanti kau pulang kemalaman. Takutnya ibumu mencarimu. Tidak pantas seorang gadis yang masih menggunakan seragam sekolah berkeliaran sampai malam.” Ray bangkit dari tidurannya, dilihatnya jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya.
                “Bagaimana? Kau mau pulang sekarang. Sudah jam5 sore, Acha.” Acha tersadar dari lamunan atas perkataan Ray barusan.
                “Oh, iya. Aku ingin pulang sekarang.”
                Ray tersenyum lalu mengulurkan tangan kanannya kepada Acha yang masih terduduk di hamparan alang-alang tersebut. Acha memperhatikan tangan Ray lalu menatap wajah Ray. Sekali lagi Acha melihat senyum tulus dari bibir Ray. Tak segan-segan Acha membalas senyuman dan juga membalas uluran tangan Ray.

***
                Acha berjalan menuju kelas sambil membawa kotak makanan di tangannya.  Senyuman pun tak luput dari wajahnya, setiap langkah ia hentakan dengan gembira. Tak sampai 10 menit, ia sudah berada di dalam kelas. Ia memperhatikan tiap sudut kelas. Masih sepi, pikirnya. Tanpa pikir panjang, ia segera berjalan menuju bangkunya. Diambilnya handphone yang berada di ranselnya dan langsung memainkannya. Acha tatap lekat-lekat layar handphone touchscreen-nya.
                “Ray sms aku?” Acha segera membuka sms dari Ray tersebut.

‘Cha, hari ini aku tak bisa berangkat sekolah. Tiba-tiba badanku meriang. Maaf ya aku tak bisa menemanimu di sekolah hari ini.’

                Acha menghela nafas kecewa, ‘sia-sia aku membawa bekal untuk Ray dari rumah.’ pikir Acha kecewa.
                “Tapi, apakah Ray baik-baik saja? Tidak seperti biasanya dia sakit. Apa karena kemarin kita terlalu lama di ladang alang-alangnya sehingga membuat Ray menjadi sakit seperti ini. Ya ampun, Ray. Maafkan aku.” Rutuk Acha sambil memukul-mukul kepalanya dengan tangannya.
                Tidak tenang. Itu yang dirasakan Acha selama pelajaran berlangsung. Acha terus-terusan menggertak-gertakkan jarinya pada meja sambil memperhatikan meja Ray yang ada tepat di sampingnya. Ini adalah kebiasaan Acha, jika ia dalam keadaan tidak tenang, ia akan menggertakkan jarinya di meja atau bahkan di telapak tangannya sendiri.
                “Aissh, mengapa aku menjadi merasa bersalah begini pada Ray? Pasti Ray sakit karena aku. Ya sudahlah, nanti sepulang sekolah aku langsung menjenguk dia. Aku khawatir.” Acha meyakini dirinya agar dia bisa tenang.

***
                “Ray-nya ada, tante?” kata Acha setelah pintu rumah Ray terbuka dan terlihat seorang wanita setengah paruh baya namun masih terlihat sangat cantik.
                “Ray ada di kamarnya, Cha, kau ke sini untuk menjenguk Ray pasti. Kau masuk saja ke kamarnya. Oh ya, Cha. Sebelumnya tante minta, tolong kau bujuk Ray untuk makan, sedari tadi ia belum juga makan. Tante khawatir kesehatan Ray menurun.”
                “Tenang saja, tante. Acha akan membujuk Ray untuk makan.” Acha memberikan senyuman tulus dari bibirnya, ibu Ray membalas senyuman Acha tersebut. Setidaknya kehadiran Acha bisa membantu.
                Acha berjalan menyusuri tiap tangga untuk menuju kamar Ray, sesampainya di depan kamar Ray, ia segera mengetuk pintu kamar Ray dan terdengar suara yang memperbolehkan Acha masuk ke dalam kamar tersebut. Acha segera membuka pintu kamar Ray dan ia melihat sang pemilik kamar tengah tergeletak lemah di ranjang tempat tidurnya. Acha berjalan mendekati ranjang tersebut.
                “Kau sakit apa?” tanya Acha yang sudah duduk di samping Ray yang terbaring dengan senyuman dari bibir pucatnya.
                “Aku tak tau, ketika aku bangun tidur semua badanku seakan mau patah seluruhnya. Tapi sekarang aku sudah tak apa, mungkin besok aku sudah bisa sekolah.”
                Acha menyipitkan matanya sambil memperhatikan Ray dengan tajam.
                “Kau mengapa menatapku seperti itu? Apakah ada yang salah dariku?” tanya Ray takut ketika melihat wajah Acha yang seperti ingin memakannya saat itu.
                “Mana mungkin kau sudah sembuh? Lihat, suhu tubuhmu masih panas.” Ucap Acha seraya menempelkan telapak tangannya pada dahi Ray.
                “Apa kau sudah meminum obatmu?”
                “Belum.”
                “Jelas kau belum meminumnya, makan saja kau belum. Sudah sekarang kau makan dulu baru nanti kau meminum obatmu.” Acha segera mengambil kotak makan yang ia simpan di dalam tas ranselnya lalu membuka tutup kotak makan tersebut. Terlihat nasi goreng dengan telur mata sapi di dalam kotak makan tersebut.
                “Sengaja aku buatkan ini untukmu, tadinya aku akan memberi makanan ini di sekolah tapi ternyata kau tidak masuk ya sudah ku putuskan untuk memberikan makanan ini sepulang sekolah sekalian aku menjengukmu. Sekarang kau makan ini nasi goreng buatanku. Bukannya kau ingin sekali nasi goreng buatanku kan?” Acha menyodorkan kotak nasi itu kepada Ray, Ray menatap Acha dan kotak makan itu secara bergantian. Ia sangat heran, mengapa Acha tau apa yang ia inginkan saat ini.
                “Mengapa tidak dimakan? Mengapa hanya dilihat saja?” Ray tersentak mendengar ucapan Acha.
                “Bukannya aku tak mau makan, Acha. Tanganku masih kaku untuk digerakkan. Kalau kau bersedia, maukah kau menyuapiku makan?” Acha ternganga mendengar permintaan Ray, namun dengan segera ia menyendokkan nasi goreng tersebut ke sendok lalu menyuapkannya pada Ray.
                “Kau memang handal dalam memasak, Cha. Nasi goreng buatanmu selalu enak.” Puji Ray sambil mengunyah nasi goreng yang ada di mulutnya tersebut. Acha terkikik mendengar ucapan Ray yang mungkin terdengar tidak jelas itu.
                “Sudahlah, kau makan dulu makananmu baru kau berbicara. Dasar kau ini.” Derai tawa Acha kembali menyeruak. Entah mengapa di saat Acha bersama Ray hanya rasa bahagia yang Acha dapatkan.

***
                Acha menatap jam yang ada di pergelangan tangan kirinya, ia sudah menunggu hampir 45 menit di tempat ini. Seseorang yang ditunggunya tak kunjung datang. Ia kembali meminum hot chocolate yang sudah dipesannya dari tadi sampai-sampai hot chocolate tersebut sudah dingin.
                “Maaf aku telat.” Acha menoleh ke sumber suara lalu memasang wajah tidak nyaman. Seseorang yang mengucapkan perkataan itu langsung tersenyum simpul.
                “Aku tau aku salah, tadi aku kejebak macet di jalan. Kau tak marah padaku kan?” Pria tersebut langsung duduk di depan Acha sambil memohon-mohon agar Acha bersedia memaafkannya.
                “Kau tak tau, aku sudah menunggumu hampir 1 jam. Apa kau tak bisa menghubungiku?”
                “Handphone aku ketinggalan di rumah, Cha. Maaf jika aku membuatmu menunggu lama. Sebagai gantinya, aku akan membayar minumanmu itu.”
                Pria itu kembali menggunakan alih-alih mentraktir untuk mendapatkan maaf dari Acha. Acha tampak sedang menimang-nimang tawaran dari pria tersebut kemudian ia memandang pria yang ada di depannya.
                “Baiklah, aku terima tawaranmu. Tapi kau jangan senang dahulu, aku tak akan memaafkan sebelum kau membawaku ke tempat biasa, Ray.” Acha tersenyum miring setelah mengucapkan permintaannya tersebut.

***
                “Ray, sini !!” ajak Acha sembari memainkan kameranya.
                “Sudahlah Acha, aku lelah. Kau tak tau apa, kau sudah berputar mengelilingi ladang ilalang ini berkali-kali dan aku mengikutimu.” Ray duduk di hamparan ilalang sambil meluruskan kakinya.
                “Kau ini laki-laki tapi kau lemah seperti perempuan. Memalukan.”
                “Kau menghinaku atau kau memujiku? Aku juga bisa lelah Acha.” Ucap Ray dengan nada yang cukup tinggi sehingga membuat Acha sedikit tersentak.
                “Ray, bukan maksudku berkata seperti itu. Maafkan aku, Ray.” Acha berjalan menuju ke arah Ray dan duduk di samping Ray dengan wajah memelas.
                “Ray, kau marah padaku? Aku minta maaf padamu.” Acha memegang lengan Ray sambil menggoyang-goyangkan lengan Ray. Ray sendiri, ia menatap lurus tanpa memperdulikan Acha yang kini ada di sampingnya.
                “Maafkan aku, Ray.”
                “Apa kau tak tau? Aku melakukan ini demi kesenanganmu, Cha. Aku takut suatu saat aku tak bisa menemanimu lagi di tempat ini. Aku hanya ingin,,, aku hanya ingin membuat bahagia. Maafkan aku jika aku tak mampu membuatmu bahagia.” Ray tampak menundukkan kepalanya, Acha yang bingung dengan perkataan Ray langsung mengangkat dagu Ray dan mengarahkan mata Ray untuk menatap matanya.
                “Kau tak perlu meminta maaf padaku, Ray. Perlu kau tau, aku selalu bahagia ada di sampingmu.” Acha menyenderkan kepalanya pada pundak Ray yang sekarang berada di sampingnya.
                ‘Aku sudah bahagia, Ray. Aku sudah bahagia jika aku bersamamu dan aku lebih bahagia lagi dengan keadaan seperti ini’ Acha merangkulkan lengannya pada lengan Ray. Ia menutup matanya dan menikmati angin semilir sore hari itu. Ray pun demikian, ia memejamkan matanya dan ikut terhanyut di dalam pikiran masing-masing. Terlihat tangan Ray tengah menyentuh telapak tangan Acha. Sungguh, yang mereka inginkan saat ini adalah, andai waktu bisa terhenti.

***
                Suara instrumental merdu terdengar dari headset milik Acha, acha kini sedang berada di dalam kelas. Ia memang sengaja datang pagi karena ia bertugas melaksanakan piket kelas. Acha terhanyut dalam setiap melodi yang terlantun dalam lagu yang ia dengarkan hingga ia merasakan ada sentuhan di pundaknya. Ia membuka matanya lalu menatap seseorang yang menyentuh pundaknya itu.
                “Hay Cha.” Acha melepas headsetnya lalu tersenyum pada seseorang tersebut.
                “Oh, hay Sheil. Ada perlu apa?” tanya Acha melihat Sheila, teman kelas sebelahnya.
                “Maaf jika aku menganggu waktumu. Aku datang ke sini hanya ingin bertanya, apakah Ray sudah datang?” Acha tampak mengerutkan keningnya.
                “Ray?”
                “Iya. Apakah Ray sudah datang?” ulang Sheila tersenyum manis.
                “Oh, Ray. Belum sepertinya, mungkin dia datang mepet seperti biasa. Ada perlu apa? Mungkin aku bisa membantumu?”
                “Aku ingin mengembalikan ini pada Ray. Ucapkan terima kasih padanya karena kemarin malam aku diperbolehkan meminjam jaketnya karena udara kemarin malam begitu dingin.” Sheila memberikan jaket itu kepada Acha. Acha menerimanya dengan bingung.
                “Semalam kau pergi berdua dengan Ray?”
                “Iya, Cha. Ya sudah, aku harus pergi. Ada tugas yang mesti aku selesaikan di kelas. Sekali lagi terima kasih, Acha.”
                Sheila pergi meninggalkan Acha dengan sejuta tanya di benak Acha. Ada perlu apa Ray dan Sheila bertemu? Apa mungkin mereka,,,

***
                Dering handphone terdengar dari meja belajar Acha. Acha yang memang baru saja selesai mandi bergegas mengambil handphone-nya lalu menempelkannya pada telinganya.
                “Ya hallo. Di sini dengan Acha. Ada apa Ray?” tanya Acha setelah mengangkat telepon tersebut.
                “Oh, kau sudah berada di bawah. Oke, sebentar lagi aku turun menemui. Kau tunggu saja.” Acha segera menutup telepon tersebut lalu berjalan menuju ke lantai bawah untuk menemui Ray.
                “Ada apa, Ray?” ucap Acha yang melihat Ray tengah duduk di depan mobil Ferrari-nya.
                “Aku ingin mengajakmu pergi ke ladang ilalang. Kau tak sibuk kan?”
                “Oh tidak, aku sangat senang jika kau mengajakku pergi. Tunggu sebentar, aku akan mengambil tasku di dalam. Lebih baik kau menungguku di dalam mobilmu saja.” Ray hanya mengangguk lalu mengikuti perintah Acha. Mungkin ini saatnya, pikirnya.

***
                “Mengapa kau mengajakku ke tempat ini? Biasanya aku yang selalu mengajakmu bukan malah kau yang mengajakku.” Ray tersenyum simpul mendengar ucapan Acha. Ia menoleh ke Acha.
                “Apa aku tak boleh mengajakmu ke tempat ini?”
                “Oh tidak tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya heran saja pada dirimu. Akhir-akhir ini kau sedikit membuatku bingung.”
                “Aishh itu semuanya hanya perasaanmu saja.” Acha hanya mengangguk-angguk menanggapi ucapan Ray. Ia kembali menatap hamparan ilalang di hadapannya.
                “Aku ingin sedikit bercerita denganmu, Cha.” Ucap Ray yang masih memandang ilalang di hadapannya.
                “Kau tau, ternyata rasanya mencintai seseorang itu menyakitkan untukku. Setiap hari aku harus memikirkan gadis itu sampai-sampai  waktuku tersita karenanya. Setiap hari aku harus memandang wajahnya karena jika tidak, aku tidak akan bisa tidur malam karena merindukannya. Setiap hari aku harus menanti senyumannya karena jika tidak, senyumanku tak akan bisa tulus kuberikan untuk orang-orang di sekitarku. Setiap hari aku selalu mendengar suaranya karena jika tidak, aku tidak akan menjadi setegar biasanya. Jatuh cinta memang membuatku gila, Cha. Aku tak tau bagaimana aku harus bisa menyikapinya. Ini terlalu membuatku terbebani dan membuatku lelah.” Acha menatap Ray tak percaya, jadi selama ini Ray sedang jatuh cinta. Tapi dengan siapa?
                “Beruntung sekali perempuan yang kau cintai, Ray. Aku ikut senang dengan ini semua.” Acha memberikan senyum yang mungkin senyum palsu dari bibir mungilnya. Ia berusaha menahan agar ia tak menangis mendengar perkataan Ray ini.
                “Perlu kau tau, Ray. Cara mengekspresikan ketulusanmu adalah dengan hatimu dan cara mengungkapnya adalah dengan tatapan mata. Jika kau ingin mengungkapkan perasaanmu, tatap matanya dan katakan bahwa kau mencintainya.” Ucap Acha kembali tersenyum sambil menatap mata Ray yang juga tengah menatapnya.
                “Cha?!” panggil Ray lirih sambil meraih kedua tangan Acha. Acha tersentak dan menatap tangannya yang tengah digenggam oleh Ray.
                “Ray, kau?”
“Aku mencintaimu.” Ucap Ray sembari memberikan kecupan hangat di kening Acha cukup lama. Acha menganga, ia tak percaya akan ini. Ray melepas kecupannya lalu menatap mata Acha dalam.
“Kau bilang cara mengekspresikan ketulusan adalah dengan hati dan cara mengungkapkannya dengan tatapan mata. Dan aku melakukan apa yang kau ucapkan, Cha. Ya, aku mencintaimu.” Setetes air mata jatuh di pipi Acha saat itu, segera ia peluk tubuh Ray yang ada di hadapannya dengan erat.
“Ray, saranghae.” Balas Acha tersenyum.

***
                Acha berjalan menuju kelasnya dengan gembira. Senyuman sama sekali tak lepas dari bibirnya. Sore itu merupakan hari terindah baginya. Ya walaupun ia tak menjalin hubungan dengan Ray, setidaknya mereka sudah mengetahui perasaan masing-masing. Sesampainya di kelas, Acha melihat pemandangan yang menyesakkan baginya. Begitu menyesakkan. Ia melihat Ray tengah tertawa riang dengan Sheila. Tak segan-segan Ray merangkul pundak Sheila sambil memainkan poni Sheila yang ada di sampingnya. Ingin sekali Acha menangis saat itu juga. Jadi apa maksud kemarin sore? Acha melangkahkan kakinya ke tempat Ray dan Sheila duduk.
                “Permisi, aku ingin menaruh tasku di tempat dudukku.” Ray dan Sheila menoleh ketika melihat Acha berdiri di sampingnya.
                “Cha, aku ingin memberitahumu sesuatu. Kenalkan ini Sheila.” Ucap Ray sambil berdiri di samping Acha.
                “Tanpa kau beritahu, aku juga sudah tahu bahwa dia Sheila, Ray.” Balas Acha malas.
                “Oh tidak! Maksud aku, dia Sheila. Kekasihku.”
                Seperti tersambar petir ketika Ray mengatakan itu. Rasa sesak menyeruak di hati Acha saat itu. Tidak, tidak, Acha tidak boleh menangis di sini. Acha menghela nafas panjang sambil memperhatikan Ray dan Sheila yang berada di hadapannya.
                “Kau beruntung mendapatkan Ray, Sheil. Jaga Ray baik-baik dan untuk kau, Ray. Jaga Sheila baik-baik, jangan kau sakiti dia. Sampai aku tau kau menyakiti dia, akan berhadapan denganku nanti. Selamat ya,,” Acha mengulurkan tangannya pada Sheila, Sheila membalas uluran tangan Acha dengan senyuman begitu pula dengan Ray.
                “Oh iya sampai lupa, maafkan aku. Aku harus pergi ke ruang guru sebentar. Ada berkas yang mesti aku ambil. Bersenang-senanglah kalian di sini. Aku pergi dahulu.”
                Acha segera meninggalkan tempat itu, tepat ketika ia berbalik, air mata yang sudah ia tahan langsung terjatuh di pipinya. Ia berjalan menuju ke belakang sekolah. Ia menumpahkan segala isi hatinya di tempat tersebut. Ia menangis sejadi-jadinya sampai-sampai ia lupa waktu bahwa bel masuk sudah berbunyi. Namun ia juga tak kunjung masuk ke dalam kelas.
                “Mengapa kau mengatakan mencintaiku namun kau malah seperti ini, Ray? Kau menyakitiku. Sungguh! Kau menyakitiku.” Acha kembali mengusap air matanya namun percuma, air mata itu kembali menetes di pipinya.
                “Ya Tuhan, ini terlalu menyakitkan untukku. Kejadian ini begitu menorehkan luka yang dalam di hatiku. Sungguh, aku tak mampu, aku tak mampu menahan ini. Aku,,, aku,,, aku,,, terlalu mencintai Ray, ya Tuhan. Aku tak bisa manahan perasaan ini.” Acha terkulai lemas di bawah pohon belakang sekolah saat itu. Salah kan ia memiliki perasaan ini?

***
                Setelah kejadian itu, Acha berusaha untuk melupakan perasaannya itu terhadap Ray. Ketika ia bertemu dengan Ray, ia berusaha sebisa mungkin bersikap biasa. Hingga suatu saat Acha mendapat kabar bahwa Ray pindah ke Singapura. Acha begitu terpukul, mengapa Ray tak mengabari dirinya? Mengapa harus orang lain yang memberitahukannya? Mengapa bukan Ray sendiri? Keadaan ini membuat kesehatan Acha drop, namun selang beberapa minggu, Acha berusaha untuk melepaskan Ray.
                Hingga 6 bulan kemudian, Acha sudah lulus SMA. Masa SMA yang mungkin baginya masa SMA yang kelam karena harus kehilangan orang yang disayangnya. Acha memandang foto yang sudah lama berada di dalam dompetnya. Foto Ray ketika dahulu mereka bermain di ladang ilalang beberapa bulan yang lalu. Acha menghela nafas, sudah berapa lama ia tak bertemu dengan Ray? Sudah berapa lama ia tak berkunjung ke ladang ilalang tersebut? Ia kembali memandang foto tersebut. Tidak, Acha tak boleh merindukan Ray. Ray sudah bersama orang lain, ia tak pantas jika ia harus merindukan Ray.
                “Acha?!” Acha menoleh dan mendapati Sheila berdiri di sampingnya. Acha tersenyum melihat Sheila yang ada di hadapannya.
                “Sheila, apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Silahkan duduk.” Acha mempersilahkan Sheila untuk duduk di hadapannya. Sheila mengikuti perkataan Acha.
                “Aku tau kau ada di tempat ini. Di cafe ini.” Ucap Sheila.
                “Kau tau aku sering ke tempat ini?”
                “Ya, dan itu Ray yang memberitahuku.” Sheila menunduk sejenak lalu menatap Acha yang mungkin saat itu terlihat lesu ketika mendengar kata Ray.
                “Bagaimana kabar Ray, Sheil?” tanya Acha lirih.
                “Sepertinya kau harus tau yang sebenarnya. Ray,,,”

***
                Acha menatap seorang pria yang terbaring lemah di atas ranjang tempat tidur rumah sakit. Suara detak jantung terdengar di ruangan serba putih itu. Acha berjalan menghampiri pria tersebut yang tengah tertidur dengan oksigen yang dikenakan pria tersebut. Air mata tak luput jatuh membasahi pipi Acha. Perlahan langkah Acha berhenti tepat di samping pria tersebut. Acha genggam tangan pria itu dengan rasa rindu.
                “Ray, ini aku.” Ucap Acha sambil menahan tangisnya.
                “Aku sudah tau semuanya. Mengapa kau tak bercerita sejak awal padaku? Kau jahat, Ray. Selama 6 bulan ini, kau membiarkan aku hidup tanpamu. Perlu kau tau, aku selalu memikirkanmu.” Tangis Acha tak bisa terbendung lagi, kini air matanya benar-benar tumpah dari pelupuk matanya.
                “Acha,,” suara lirih tersebut membuat Acha tersenyum. Acha tersenyum dalam tangisnya.
                “Ray, kau sudah bangun. Sudah, lebih baik kau istirahat saja. Supaya kau cepat sembuh.” Ray menggeleng, ia melepas masker oksigennya lalu tersenyum tipis.
                “Aku ingin ke ladang ilalang bersamamu, Cha.” Pinta Ray lemah
                “Tidak sekarang, Ray. Kau harus sembuh dahulu baru nanti kita ke sana bersama-sama.”
                “Aku ingin sekarang, Cha.”
                “Ray, kumohon. Kau jangan seperti ini.” Acha menatap Ray dengan air mata yang sudah tak terbendung lagi.
                “Untuk yang terakhir kali, Cha.” Acha menatap Ray sejenak, Ray tersenyum. Acha mengangguk dan membalas senyuman Ray.

***
                Udara sore itu sangat dingin, Acha berjalan sambil mendorong kursi roda. Acha berusaha untuk tidak menangis. Setelah sampai di tengah hamparan ilalang yang kini tingginya sudah melampui Acha, Acha segera membantu Ray untuk duduk di bawah, di hamparan ilalang ini. Setelah Ray sudah duduk di bawah, Acha menyusul duduk di samping Ray. Ray segera menyenderkan kepalanya pada pundak Acha.
                “Kau tau, Cha. Sudah lama aku ingin mengatakan hal ini padamu. Tapi aku tak mau membuatmu sedih, aku tak mau kau tau bahwa aku mengidap kanker paru-paru. Aku tak mau melihat air mata dari mata indahmu. Maafkan aku sudah membuatmu kecewa, Cha.” Ray menggenggamkan tangannya pada Acha.
                “Aku tak tau harus bagaimana caranya agar kau membenciku dan akhirnya kau meninggalkanku. Dan sampai akhirnya aku meminta Sheila untuk berpura-pura menjadi kekasihku agar kau membenciku karena sebelumnya aku mengatakan cinta padamu. Sesungguhnya aku tak mau melakukan ini, Cha. Namun aku terpaksa melakukan ini. Maafkan aku.” Acha hanya diam mendengar setiap ucapan Ray. Air mata yang sudah berusaha ia tahan pada akhirnya harus jatuh juga.
                “Sekarang kau sudah tau semuanya. Kau sudah tau bahwa aku sakit. Sakit yang sudah tak bisa disembuhkan lagi.”
                “Ray, cukup. Cukup kau mengatakan ini semua.” Sela Acha terisak.
                “Aku,, aku,, tak mau mendengarkan ini lagi. Apapun yang terjadi padamu, aku akan tetap mencintaimu. Aku akan selalu ada untukmu.” Acha terisak ketika mengucapkan kalimat ini. Entahlah, saat ini hatinya seakan remuk memandang seseorang yang dicintainya menderita seperti ini.
                “Akhirnya aku bisa pergi dengan tenang, Cha.”
                “Ray, sudahlah. Kau jangan mengatakan itu.”
                “Cha, berjanjilah padaku. Kau akan membawa seseorang yang kau cintai besok ke tempat ini setelah aku pergi nanti. Dan berjanjilah kau akan menyimpan perasaan ini di hatimu selalu.”
                “Ray, jangan pergi,,,” Acha mengeratkan pelukannya, ia tak ingin melepaskan Ray.
                “Dan perlu kau tau, Cha. Aku selalu mencintaimu. Ku mohon padamu, Cha. Ciumlah aku.”
                Acha menatap mata sembab Ray, dengan cepat Acha segera mencium kening Ray lama. Hingga pada akhirnya tangan yang tadinya menggenggam erat tangan Acha langsung kendur. Acha menangis, menangis dalam posisi mencium kening Ray. Acha melepaskan ciumannya dan langsung memeluk tubuh Ray yang sudah terbujur kaku di sampingnya. Ray, akan menjadi kenangan terindah bagi Acha.

@@@
                Sebuket bunga mawar putih Acha letakkan di atas nisan berwarna merah tersebut. Nisan di antara hamparan ilalang indah. Acha tersenyum memandang foto yang tertempel di atas nisan tersebut. Setetes air mata jatuh membasahi pipi Acha.
                “Maafkan aku, Ray. Aku tak bisa menepati janjimu. Aku tak bisa membawa pria yang aku cintai ke tempat ini karena pria yang aku cintai sudah berada di tempat ini. Untuk selamanya.” Acha tersenyum memandang nisan beserta foto yang berada di atas nisan tersebut.

_THE END_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar