Jumat, 15 Maret 2013
LOVE MAKES YOU STUPID "CAGNI"
Aku kembali menatap butir-butir air hujan yang menempel dijendela. Entah mengapa, tiap menatap butiran-butiran air tersebut perasaanku menjadi teduh.
“permisi, Mba?” panggil seseorang yang ternyata adalah sekretaris Papa, membuatku sedikit terkejut. Gara-gara terlalu asik menatap butiran-butiran air hujan ini, aku sampai lupa kalau aku kesini untuk menemui Papa.
“Papa sudah selesai?” tanya ku pada sekretaris Papa
“belum, Mbak. Katanya masih sebentar lagi. Tunggu saja” ujarnya sopan.
“oh, iya. Makasih, deh” balasku berusaha senyum semaksimal mungkin.
“iya, sama-sama” sekretaris Papa membalas senyumanku dengan senyuman tak kalah ramah, kemudian ia berbalik dan menuju ke meja kerjanya.
Aku kembali meneguk teh manis yang tadi dibuat sekretaris Papa. Sudah hampir satu jam aku menunggu di lobi kantor manajemen artis Papa ini, namun Papa masih saja belum keluar. Akhirnya aku kembali memusatkan pandanganku pada layar Blackberry-ku untuk bermain poker haha.
Kalau saja bukan karena Papa yang memaksa ku kesini dengan ancaman tidak memberiku uang jajan dan membatalkan semua pembuatan kartu kredit turunan untukku, aku tak akan mau kesini. Lagipula, masa aku kesini hanya untuk menemuinya dan menemaninya makan malam, sih?
“Hei!” tiba-tiba terdengar suara cowok yang cukup renyah memanggilku, membuatku sedikit terkejut. Aku yakin bahwa ia memanggilku, karena tak ada orang lain di lobi selain kami. Aku melihat seorang cowok dengan wajah cukup familier dan bisa dibilang tampan berdiri menjulang di depanku.
Ia tersenyum manis.
Hidung cowok itu mancung sempurna khas makhluk Eropa. Wajah kotaknya menampilkan tulang rahang yang terlihat tegas dan kokoh. Tubuhnya tinggi, tegap, dan bisa dibilang atletis. Kaos hitam lengan pendek yang ia pakai pun terlihat sangat pas. Dan yang paling aku suka darinya adalah….matanya. Dan wait, warna kulitnya juga persis seperti warna kulitku. Putih, namun masih ada bayangan kulit Asia yang berwarna tan.
Dia mirip dengan Mario, mantan pacarku. Cowok-cowok tipe gini biasanya hobi melakukan diskriminasi fisik. Maksudnya, segala sesuatunya selalu dinilai dari fisik.
Flashback sebentar ya, aku dan Mario sudah berpacaran hampir 2 tahun. Aku bisa dibilang termasuk golongan tipe cewek yang nggak suka main-main dalam berpacaran, tapi nggak begitu dengan Mario. Awal hubungan semuanya lancar, bahkan sangat lancar, sampai Ify, murid pindahan dari Jerman pindah ke sekolahku, Mario langsung tertarik padanya. Melupakan, pacar yang hampir 2 tahunnya ini menemaninya, demi cewek lebih cantik yang baru ia lihat. Dan bisa ditebak hubungan kami kandas ditengah jalan.
-
“Hey!” laki-laki mengibaskan tangannya didepan wajahku. Seketika aku tersadar.
“Hei….”balasku sedikit ragu-ragu
“nunggu siapa?” tanyanya ramah sambil langsung duduk disebelahku
“Papa” jawabku singkat. “eh, maksud gue Pak Gery” ralatku, mana tahu dia siapa Papaku? Bodoh!
“oh.. Pak Gery..” dia menggantungkan ucapannya, entah mengapa terdengar mencurigakan
“kenapa?”
“nggak apa-apa. Cuma baru tau aja kalau anaknya Pak Gery ternyata cantik” terangnya sambil tersenyum jahil.
“hmm…karyawan Papa?” tanyaku, rasanya aku tidak pernah melihatnya.
“bukan! Gue artis di manajemen bokap lo” jelasnya. “masa nggak kenal, sih?”
“oh, sorry gue nggak hobi nonton TV” kataku jujur.
Hening sejenak. Aku pun kembali menatap layar Blackberry-ku.
“Cakka,” katanya tiba-tiba sambil menjulurkan tangannya dan tersenyum sangat manis. Mengapa ini membuatku sedikit salah tingkah.
“Agni.” Aku membalas uluran tangannya cepat-cepat, berharap kalau ia tak menyadari bahwa aku sedikit salah tingkah.
“Ag…” tiba-tiba terdengar suara bapak-bapak memanggilku. Siapa lagi kalau bukan Papa?
“udah selesai, Pa?” aku berjalan mendekati Papa
“iya, lama ya nunggunya? Tadi soalnya ada yang ngotot pengen jadi artis , padahal jelas-jelas wajahnya gak fotogenik”
“Papa gitu amat sih! Kasihan tau!”
“kok kasihan sih?! Kamu harusnya kasihan dong sama papa. Papa udah capek, malah disuruh nemuin orang pemaksa kayak gitu..”
“ah, kayak papa dulu nggak pernah maksa pengen jadi artis aja,” cibirku dengan volume yang menggoda Papa.
“heh, malah ngomongin itu! malu tau ada Cakka disini!” papa menoleh sekilas kea rah Cakka.
Cakka terbahak. “nggak usah malu, Om. Namanya juga kenangan masa lalu,” goda Cakka, membuat Papa tertawa malu-malu.
“ya udah ya Kka, saya dan Agni pulang dulu” pamit Papa. “kamu nggak pulang? Atau mau ikut saya dan Agni saja? Kita mau makan?”
“nggak usah deh, Om. Saya masih ada masih ada urusan sama mbak Mira” tolak Cakka sopan.
“oh, ya sudah kalau begitu. Saya pamit duluan ya.”
-
Suasana sore ini sangat melankolis. Langit terlihat seperti sedang muram, dengan awan yang mengelilinginya. Hujan yang tadi turun pun kini sudah reda, berganti dengan gerimis.
“kamu kenal Cakka?” tanya Papa sambil memutar kunci mobil
“Cuma kenal namanya,” jawabku. “emang dia siapa sih, Pa?” aku pun membuka pintu mobil, kemudian masuk kedalam nya.
“masa kamu nggak tau ?!”
“nggak.” Jawabku datar. Tolong deh Pa, kalau aku tau aku nggak bakal tanya Papa! Ingin sekali rasanya aku mengungkapkan kalimat itu, demi menjaga sopan-santun dengan orang yang lebih tua, aku terpaksa menelannya mentah-mentah.
“TV di kamar kamu rusak ya, Ag? Kan kalau rusak kamu bisa nonton di luar.”
“TV?!” aku mengerit bingung. Apa coba hubungannya dengan TV? Aku curiga, jangan-jangan karena terlalu banyak lemak, pikiran Papa menjadi tersendat sehingga omongannya nggak nyambun. Eh, atau aku yang nggak ngambung?
“iya, masa kamu nggak pernah liat dia di TV? Dia itu kan actor yang sedang naik daun. Film dan iklannya juga banyak, bahkan dia sedang proses membuat mini album” jelas Papa. Aku hanya membulatkan mulutku. Pantas saja dia lumayan ganteng dan berwajah familiar.
Light House International School adalah sekolah swasta nomor satu di Jakarta yang tekenal dengan bangunan mencusuar disebelahnya. Dulu aku senang sekali ketika tahu diriku diterima di sekolah ini. bukan hanya fasilitasnya yang yang bisa dibilang “berbintang lima” Light House International School juga merupakan sekolah berprestasi di Nasional. Tak sembarang orang bisa masuk ke sekolah ini.
Aku melangkahkan kakiku menaiki tangga LHIS. Heran sekolah semewah ini yang memiliki 6 lantai tidak memiliki lift? Ckck seakan kepala sekolah ingin anak muridnya olah raga pagi untuk menaiki satu persatu anak tangga ini. butuh waktu lama untuk sampai ke lantai 4. Aku berjalan melewati lorong, dan akhirnya aku sampai di kelas 12 IPA 3. Sampai di kelas aku baru mendapati Gabriel, Sivia dan teman-temanku yang lain.
Aku mempunya 3 sahabat sejak kelas 10. Ada Gabriel, yang ganteng, tapi agak bego dan rakus haha. Sivia, cewek anggun cantik namun memiliki tenaga yang cukup besar. Acha, si nona tidur yang tidak bisa disebut sleeping beauty –jelas karena sleeping beauty tidur dengan cantik, sementara dia amburadul. Dan aku Agnia Kirana, seorang cewek ordinary- banyak yang bilang aku itu memiliki IQ dan fisik diatas rara-rata. Eheem…
Hari ini Acha datang tepat saat bel masuk berbunyi. Aku menghela nafas, bukan karena Acha datang mepet, melainkan sebentar lagi adalah Bu Bahasa inggris- guru yang paling paling membosankan.
“ceritanya gak pernah tobat nih datang mepet mulu?” sindirku ketika Acha sudah menaruh tas nya di depanku.
“heh! hari ini gue gak telat bukan karena telat bangun, ya! Gue malah udah bangun sebelum lo semua udah pada bangun” belanya
“terus?” sahut Gabriel
“gue tuh ya nungguin infotainment. Nungguin calon pacar gue Cakka Nuraga. Gillaaa, ganteng banget!!!!” wajah Acha langsung berubah semangat.”
“halah… elo Cha, telat Cuma gara-gara cowok nggak penting. Nggak asik banget sumpah!” ledek Gabriel
Acha langsung cemberut. “bilang aja takut kalah ganteng kan lo! Ngaku aja, deh! Hhaha”
Pikiranku langsung melayang saat malam bertemu dengan Cakka di kantor Papa. “eh Cha, Cakka itu tinggi tegak cakep dan kulitnya tan itu, bukan?” tanyaku pada Acha
“wah, lo naksir juga sama Cakka ternyata, Ags. Tuh Gab, Agni aja juga suka sama Cakka” Acha berkata penuh dengan kemenangan pada Gabriel.
“eh enak aja gue nggak nge-fans sama dia. Gue kemarin ketemua dia di kantor Papa.” ucapku cepat “lagian, paling dia gak jauh beda sama cowok-cowok lain.”
“Mario kan maksud lo?” tawa Gabriel
“udah deh nggak usah bahas Mario lagi! Nggak asik banget.” Potong Sivia cepat sebelum kami terlalu jauh untuk membicarakan cowok nggak penting itu. “mending bahas Cakka. Iya ngga, Cha?”
Wajah Acha mendadak menjadi semangat. “Ag, emang lo beneran ketemuaCakka? Serius?!”celetuk Acha antusias.
Aku langsung membenamkan wajahku kedalam kedua tangan. Jelas sekali tadi aku salah untuk membicarakan itu pada mereka.
“Cakka ganteng banget ya? Hmmm parah!” ucap`Acha dengan mata berbinar-binar.
Memang sih aku akui, Cakka ganteng, tapi menurutku nggak esparah itu deh. Masih ganteng Brad Pitt kemana-mana *eh.
“beneran lo ketemu sama Cakka?” Sivia ikutan histeris.
“duh, tunggu-tunggu, emang Cakka sebegitu terkenalnya ya?” potong Gabriel. Dalam hatiku mengiyakan pertanyaannya itu.
“ah, lo kampungan banget sih, iel!” celetuk Acha
“iya nih, Cakka itu lagi naik daun, lagi tenar-tenarnya, eh lo malah nggak tau siapa Cakka Nuraga itu!” sambung Sivia
Hmm… jadi Cakka itu emang artis yang lagi naik daun. Sampai-sampai kedua sahabatku ini meributkannya.
-
Aku sanggat menyukai chocolate lava cake apa lagi saat menyukai saat-saat memecahkan bagian cangkangnya membuat coklat cair didalamnya melumer layaknya lahar sebuah gunung berapi.
“Ag!” tiba-tiba terdengar suara Mama dari ruang tamu. “ambilin dokumen dimeja makan dong! Dan bawa kesini”
Aku menggerutu pelan. Dengan malas aku mengambil dokumen itu lalu menyerahkan pada Mama yang duduk diruang tamu.
“ini…” kata-kataku terhenti ketika aku melihat Cakka berada diruang tamu. Kenapa dia ada disini?
“Cakka datang untuk buat ambil dokumen kontrak yang dititipin Papa.” Jelas Mama tamnpa ku tanya.
Aku melirik Cakka sejenak. Ia tersenyum sekilas, dengan senyuman yang harus aku akui, membuatnya makin menarik. Hari ini Cakka mengenakan Polo shirt putih pas dengan badan dan celana panjang jeans hitam. Simple memang, tapi memang sesuatu yang simple selalu bisa menjadi luar biasa jika menempel pada orang yang luar biasa.
“sibuk nggak? Temenin gue makan es krim, yuk!” aku kaget mendengar ajakan suara yang cukup renyah tersebut. aku terdiam sejenak.
“kalau nggak bisa juga nggak apa-apa. Gue makan sendiri aja.”senyum tipis menghiasi wajahnya
Hmm…makan es krim? Kedengarannya menarik juga.
“boleh,” jawabku akhirnya.
Setelah mendapat izin dari mama kami langsung melesat ke arah mobil Cakka.
“mau dengerin Linkin Park atau Bruno Mars?” Tanya Cakka sambil memperlihatkan kepingan-kepingan CD di DVD mobilnya. Ia menatapku dan tersenyum. Diam-diam aku menahan nafasku saat menatap senyuman dan tatapannya. Aku mencoba menenangkan diriku
“hmm.. nggak ada Maroon 5?”
“nggak ada sayangnya. Penggemar Maroon 5, ya?” tanyanya sambil tersenyum.
Lagi-lagi dia tersenyum sangat manis!
“lumayan,” jawabku. “yasudah, Bruno Mars saja, deh. Gue nggak begitu suka sama Linkin Park”
“oh, Bruno mars itu keren banget loh!” ucapnya mantap.
“promosi nih, ceritanya?” godaku.
Ia tertawa. Tawa renyah. “kok tau sih gue promosi?! Hehe.. abis jarang banget orang yang deket sama aku suka sama Bruno Mars. Padahal menurut gue ya, dia kalau bikin lagu keren banget! Liriknya nyentuh. Suaranya juga gak kalah keren” terangnya panjang lebar.
“ternyata lo orangnya mellow, ya? Haha suka sama lirik yang nyentuh” simpulku.
Ia nyengir kuda. “jangan diambil sisi gitunya, anggep aja gue itu orangnya sangat berperasaan, romantic, rajin menabung! Haha” candanya.
Tak lama kemudian kami sampai di kedai es krim. Kami memesan es krim dan mengobrol dari A samapi Z dan selalu di selangi tawa.
Today I don’t feel like doing anything. I just wanna lay in my bed
Tiba-tiba BlackBerry Cakka berbunyi. Cakka langsung mematikan teleponnya.
“kenapa dimatiian?” tanyaku penuh tanya.
“oh, nggak, Sutradara nelepon.” Jelasnya santai. Well dia emang selalu santai, manis dan juga keren. Stop it, Agni! Dia baru lo kenal beberapa hari lalu.
“kenapa lo disuruh balik, ya?” tanyaku. “mending balik aja, yuk. Toh kita udah mau selesai.”
“udah nggak udah, sekali-sekali gue jadi actor yang bandel” candanya.
“itu namanya bukan bandel, tapi nggak professional” timpalku.
Ku lihat Cakka hanya diam, tak tertarik dengan omelanku, membuatnya mengatupkan rahangku rapat-rapat dan mulai memandang wajahnya. Gosh, sungguh tampan sekali manusia ini! hidungnya, matanya, bibirnya, alisnya, semua sempurna. Oh, rasanya bahagia sekali bisa bersamanya.
“oke kita balik.” Ucapnya singkat
-
Dalam perjalanan menuju parkiran kami hanya hening…..
“lo SMA kelas 3 kan? Rencana mau lanjut kemana?” tanya Cakka memecah keheningan itu.
“hmm… masih belum tahu nih. Mungkin akan tetap di Jakarta, tapi papa menawariku untuk ke National University Singapore.” Jelasku
“oh, di UI aja bareng gue!” usulnya antusias
“lo anak UI? Ambil jurusan apa”
“kedokteran. Tapi sekarang lagi cuti, sibuk dengan dunia entertain.”
Wow, dia anak UI? Jadi kesimpulannya bukan hanya tampan, tapi juga pintar, dia artis terkenal, baik dan tajir. Luar biasa, menambah kesempuraan yang ada padanya.
“emang lo pingin jadi dokter, bukannya jadi artis itu gajinya lebih gede ya?!”
“artis itu nggak menjanjikan. Lagi pula dari kecil nyokap pengen gue jadi dokter.” Jelasnya. “Bahkan sebelum beliau menginggal juga nyuruh gue masuk kedokteran “
“nyokap lo…?” aku menghentikan ucapanku sendiri, takut menyinggung perasaannya. Namun ternyata ia tak tersinggung sama sekali. Ia malah mengajakku untuk duduk dipinggiran dan mulai menceritakannya dengan tenang dan santai.
Aku sedikit tersentak, ternyata Cakka berasal dari keluarga broken home. Papa dan mamanya bercerai. Tak lama kemudian mamanya menginggal karena penyakit jantung. Setelah kepergian mamanya, cakka dan adiknya, Ray, memutuskan hidup sendiri. Cakka bilang, dia bingung, entah mengapa Ray terlihat membencinya. Mungkin masih belum bisa menerima apa yang terjadi.
“I’m so sorry about this, Cakka”
Ia tersenyum. “thanks”
“hhmmm Jakarta sumpek banget ya, kendaraan semua isinya. Bising. Mau ke parkiran aja harus jalan jauh.”kata Cakka sambil berdiri dan berjalan kearah parkiran.
Aku memandang sebal. “kalau udah tau sumpek, kenapa lo ajakin gue jalan?! Kesannya lo mau bunuh gue hidup-hidup karena asap kendaraan!”
Gelak tawa Cakka tak dapat dibendung.”lo itu negative thinking mulu, ya? Gue serba salah gini. Lagian kalau gue mau bunuh lo, udah dari tadi gue bunuh lo! Haha”
“monyet” umpatku. Ia kembali tertawa. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju parkiran jaauuhhhh disana.
“hmm buat lo” kata cakka sambil menyerahkan sebuah bunga mawar putih.
Aku memandangnya bingung. “lo dapet dari mana?”
Ia hanya tersenyum jahil, melirik toko bunga yang ada di sebelahnya. Tepat pada saat itu, sang penjual toko menyadari bahwa salah satu bunganya di curi oleh Cakka.
“Lariiiii!!!!!” seru cakka sambil menarik tanganku, berlari menuju mobinya.
“gila lo, ya! Parah!” kataku diselingi tawa sesampainya kami dimobil. “lo buat gue berdosa tahu nggak.” Gerutuku.
Cakka menatapku sambil tersenyum jahil.”dosa-dosa dikit nggak apa-apalah. Kan dosanya di tanggung berdua! Haha “
“ngeles. Dasar!”
Selanjutnya Cakka mengantarku pulang karena takutr terlalu malam. Perjalanan kali ini terasa sangat cepat, mungkin karena penuh canda tawa, serta perbincangan tanpa henti. Cakka benar-benar membuat rekor karena membuatku nyaman dengan orang yang baru kukenal beberapa hari yang lalu…..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar