Jumat, 15 Maret 2013

The Truth About Forever - Chapter 1 : Neighbour From Mars

Kereta jurusan  Bandung berjalan tenang di antara persawahan. Di
dalam kereta itu,  seorang cowok berambut hitam pekat berumur dua puluh satu tahun tertidur  dengan mulut setengah terbuka. Suara dentum-dentum keras terdengar dari  headphone besar yang merosot dari telinganya dan malah  melingkari lehernya.
Seorang anak perempuan berumur sekitar empat  tahun menatap wajah cowok di depannya itu dengan cermat. Ibu dari anak  itu juga sedang terkantuk-kantuk. Anak perempuan itu bangkit,mendekati  cowok di depannya. Dia memerhatikan iPod yang ada di tangan  cowok itu, lalu menjulurkan tangan, bermaksud memegangnya.
"Jangan," kata cowok itu membuat anak perempuan itu tersentak kaget. Namun mata cowok itu masih terpejam. Rupanya, dia hanya mengigau.Anak  perempuan itu menghela napas lega, lalu kembali menjulurkan tangannya,  penasaran. Tiba-tiba, cowok itu bergerak gelisah.
"Jangan! Lepasin  gue! JANGAN!" teriak cowok itu, sambil membuka mata kejoranya-nya  yang sejak tadi tertutup.
Si anak perempuan tadi terlonjak dan  akhirnya jatuh terduduk dengan wajah pucat pasi.
"Ada apa?" seru  ibu dari anak itu kaget. Dia terbangun karena teriakan keras si cowok.  "Ada apa, Oik?"
Anak perempuan bernama Oik itu langsung menangis,  terlebih karena kaget.
Ibunya segera menenangkannya, lalu melirik tajam  ke arah cowok bermata hitam kejora tadi.
Rio, si cowok  tadi, masih terlalu
kaget dengan mimpinya. Mimpi buruk yang sudah sekian  tahun
mengganggunya. Rio menyeka keringat dingin yang mengalir deras di wajahnya, lalu menatap si ibu yang juga masih menatapnya tajam.
"Oh,  maaf, Bu," kata Rio setelah melihat Oik yang masih terisak meski dia  tak tahu persis apa kesalahannya.
Si ibu tidak begitu peduli  dengan permintaan maaf Rio, bahkan membuang muka. Rio yang merasa  bersalah, hanya bisa menggigit bibir sambil membetulkan posisi duduknya. Setelah memastikan si ibu tidak menatapnya lagi, Rio membuang  pandangannya ke luar jendela. Kereta masih melintasi persawahan.Rio menghela napas berat mengingat mimpinya tadi. Tanpa sadar, tangannya  mencengkeram lengan kirinya erat.
Rio sudah sampai di Bandung,  kota yang dua hari lalu tidak pernah terpikirkan akan menjadi kota  tempat tinggalnya. Hari itu, temannya memberi tahu tempat tinggal  seseorang yang sedang dicarinya.
Rio berjalan keluar stasiun, lalu  menatap ke sekeliling. Di depannya jalanan ramai dipenuhi orang yang  berlalu lalang, dia sama sekali tak tahu menahu mengenai kota ini.Nekat.  Itulah modalnya datang ke
kota ini. Rio tak bisa mundur lagi. Dia sudah  mendapatkan info penting tentang seseorang yang dicarinya, dan dia  tidak mau kehilangannya lagi.Rio menghela napas, memanggul  ranselnya, dan mulai berjalan untuk mencari bus kota.
Rio menatap  rumah-rumah di depannya yang tampak seperti bangunan kos. Dia sudah  selamat setelah penjual minuman di depan stasiun menyuruhnya
untuk naik  bus nomor empat. Sekarang, dia berada di kawasan kampus Universitas  Bandung dan berniat untuk mencari kos.
Rio tidak memiliki banyak  uang. Dia memiliki simpanan, tetapi tidak akan dihabiskannya untuk  sebuah kos bertingkat yang mewah. Dia akan mencari kos dengan harga sewa  semurah-murahnya. Tidak perlu bagus, dia toh, tidak akan lama berada di  kota ini. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, Rio akan segera  pergi.
Setelah dua jam mencari, Rio
berhenti untuk makan di sebuah  warung makan. Agar hemat, Rio hanya memesan makanan yang harganya  paling murah, yang penting bisa untuk mengisi perutnya yang sejak tadi  pagi belum diisi.
Rio bertanya pada si penjual di mana kos cowok  yang murah. Si penjual menyarankan untuk pergi ke tempat kenalannya yang  ada di gang sebelah. Rio pun mengikuti sarannya.
Dan, di sinilah  dia berada, di depan sebuah bangunan reot yang sepertinya hanya tinggal  menunggu waktu untuk rubuh.
Bangunan itu bertingkat dua, tampak  menyeramkan karena hampir semua catnya mengelupas aneh. Atap bangunan  itu juga tampak seperti akan
jatuh.
"Ada nih, yang tinggal di  sini?" Rio bergumam sangsi. Namun, dia tetap melangkahkan kakinya masuk.
"OH,  MAU KOS? BOLEH-BOLEH!" sahut ibu kos membuat Rio merasa headphone-nya akan sangat berguna untuk menghindari kerusakan telinga. Ibu itu terlalu histeris. Rio merasa curiga, jangan-jangan kos itu tidak 
berpenghuni.
"Saya mau masuk hari ini juga, Bu," kata Rio lagi.
"MASUK HARI INI JUGA? OH, BOLEH!" sahut ibu yang belakangan ini diketahui bernama Winda itu lagi, matanya sekarang berbinar-binar. Bahkan nyaris 
berkaca-kaca.
"Saya juga mau bayar lunas sekarang," kata Rio lagi,  lalu dengan segera menutup telinganya sebagai antisipasi.
"OHHH!  BAYAR LUNAS SEKARANG JUGA BOLEEHHHH!" seru Winda lagi. Kini, dia sudah  menangis.
Rio menatap simpati. Winda menyeka air matanya, lalu menggenggam tangan Rio erat. Rio tak sempat menghindar. "Ng... siapa  tadi?"
"Mario... Mario Stevano, tapi bisa di panggil Rio," sahut  Rio.
"Mm,Rio... kos saya ini udah hampir nggak ada  penghuninya...Tinggal dua orang di bawah dan satu orang di atas... Kamu  liat sendiri, kan, kondisi kos ini... Nggak ada yang mau kos di  sini...," ratap Winda.
"Terus kenap..."
"Terus,saya juga  nggak punya duit untuk renovasi...," potong Winda. "Jadi, satu per satu  semua pada pergi. Sisanya bertahan karena mereka pada
nggak mampu bayar  kos-kosan yang lain. Saya kasihan sama mereka..."
Rio  mengangguk-angguk dengan pandangan kosong. Dia seolah mengangguk hanya  untuk formalitas. Winda sekarang sudah terisak.
"Tapi! Kamu  tiba-tiba datang menyelamatkan saya! Terimakasih! Saya benar-benar  berterimakasih banyak...," sahutnya, membuat Rio tersenyum kaku.
"Kalo  gitu... boleh saya tau di mana kamar saya?" tanya Rio setelah memberi  uang kepada Winda. Ternyata biayanya amat sangat murah, jauh di luar  perkiraan Rio.
"Oh! Kamar kamu di lantai dua, nggak apa-apa, ya?"  kata Winda lagi.
"Nggak apa-apa. Tapi, emangnya kalo lantai dua  kenapa?" tanya Rio, curiga
"Ng... kamar yang dibawah, kecuali  yang di tempatin, semua rusak, cuma sisa satu kamar di atas yang bisa  dipakai," kata Winda.
"Oh, oke. Nggak apa-apa."
"Tapi,  masalahnya, kamar yang di atas itu... Ng... gimana yah... kamar cewek,"  kata Winda yang sukses membuat Rio cengo.
"Hah? Jadi, ini kos  cewek?" tanya Rio yang merasa capek karena sudah mengobrol panjang  lebar.
"Bukan,ini kos campuran. Yang cowok di bawah, yang cewek  di atas. Tapi berhubung yang di bawah pada rusak, jadi yang sisa cuma di  atas," kata Winda sambil nyengir bersalah. "Tapi, nggak apa-apa, kok.  Si cewek ini
anak baik!"
Rio melongo. Sebenarnya, yang harus  merasa terancam itu siapa?
"Bu Winda, saya bukannya nggak mau,  tapi apa cewek itu mau?" tanya Rio lagi.
"Oh, kamu tenang aja! Dia  pasti mau, kok, pasti mau! Orang dia keponakan saya!" sahut Winda yang  kemudian kembali membuat Rio melongo. Orang
macam apa yang membiarkan  orang asing tinggal di sebelah keponakannya sendiri?
"Tapi..."
"Sudah,  sekarang kamu naik aja ke lantai dua. Kamar kamu nomor sebelas! Kalo  kamu butuh apa-apa, tinggal datang ke sini aja, ya?" kata Winda tak  sabar.
Rio mengangguk, lalu
bangkit sambil melirik Winda yang  sedang sibuk menghitung uang. Dia menghela napas, memanggul ranselnya,  lalu bergerak keluar rumah ibu kos.
"Duhh! Gue kenapa, sih?"
Sebuah  teriakan cempreng
terdengar dari dalam kamar nomor sepuluh.  Penghuninya, Ify, sedang tergeletak di lantai sambil menjambaki rambut  sebahunya dengan frustasi.
Tak lama, ia bangun dan menatap  komputer yang ada di
depannya. Di layar komputer itu, terdapat  tulisan-tulisan yang masih menunggu untuk diselesaikan. Ify memelototi  tulisan itu, berharap
dengan begitu dia akan mendapatkan inspirasi untuk  meneruskannya.
"Oh,inspirasi! Datanglah!" serunya lagi sambil  mengatupkan kedua tangan dan mengarahkannya ke langit-langit seperti  sedang menjampi-jampi orang.
Ify masih menatap layar komputernya,  tapi tak ada
inspirasi apa pun yang datang. Perempuan itu menghela  napas, meraih gelas di sebelahnya, lalu meminum isinya: kopi. Cairan  hitam yang akhir-akhir ini selalu diminumnya.
Ify melirik papan  target
berhiaskan gambar chappy kesukaannya yang ada di sebelah komputer  itu.
Di sana tertulis: Menjadi Penulis Best-seller. Ify  mendesah. Jangankan best-seller, jadi penulis saja belum tentu.
"AAAARRGGGHHHH!  SEBEEEELLL!" seru Ify membuat Rio yang sedang lewat di depan kamarnya  terlonjak kaget.
"Ada apaan, sih?" gumam Rio. Dia bergerak menuju  sebuah kamar yang pintunya sudah penuh ditempeli stiker.
Rio menengadah untuk melihat nomor kamar itu, sebelas. Ya, benar, ini kamarnya. Rio melirik kamar di sebelahnya. Pintu itu ditempeli hiasan bertuliskan nama pemiliknya: Ify.
Rio memasukkan kunci di  tangannya ke lubang kunci. Sebelum pintu kamarnya terbuka, pintu kamar  sebelah sudah terbuka duluan.Ify keluar kamar sambil menguap  lebar. Dia melakukan gerakan-gerakan kecil
untuk meregangkan ototnya,  belum menyadari kalau ada seseorang di sebelahnya yang sedang menatapnya  heran. Ify meregangkan otot leher
dengan menoleh ke kiri dan ke kanan,  dan saat itulah, dia bengong mendapati seorang cowok asing sedang  menatapnya.
Ify mengerjapkan matanya sesaat, lalu berkata, "Elo  siapa?"
"Yang mau kos di sini," jawab Rio pendek.
"Oh," ujar  Ify sambil mengangguk-angguk, kemudian kembali bersenam-senam.
Rio  memanfaatkan kesempatan ini untuk masuk ke kamarnya. Sesaat kemudian,  Ify tersentak. "HEEH? LOE MAU KOS DI SINI?"
Ify segera mendatangi  Rio, tetapi pintu kamar Rio terbanting tepat saat Ify hendak bicara. Ify  bengong, ia menggedor-gedor pintu itu. Tak ada jawaban.
Ify  memandang pintu itu geram, lalu segera tahu siapa biang keladi dari  semua ini. Dia langsung berderap ke bawah.
"Tante!"teriak Ify setelah sampai di rumah tantenya yang tak lain tak bukan adalah Winda,  si ibu kos. "Kenapa ada cowok yang ngekos di sebelah kamarku?"
"Ya,  nggak apa-apa, kan, Ify," kata Winda santai sambil menghitung uang yang  sudah dihitungnya untuk kesekian kali. "Anaknya
baek, kok."
“Tante  tau dari mana kalo dia anak baek? Emangnya dia kenalan Tante?"
"Bukan,"  jawab Winda. Sikapnya yang masih sesantai sebelumnya, membuat Ify  melongo.
"Bukan? Terus kenapa Tante bolehin dia ngekos di  sebelahku?"
"Ify, kamu tau sendiri, di bawah kamarnya udah nggak  ada yang bisa di pake. Tinggal kamar yang ada di sebelah kamu," kata  Winda lagi.
"Iya, tapi itu, kan, khusus buat cewek! Yang tadi,  kan, cowok!" Ify masih berusaha memprotes.
"Dia bayar lunas, Ify,"  jawab Winda yang semakin membuat Ify menganga.
"Tante!" teriak  Ify lagi hingga membuat perhatian tantenya itu teralihkan dari uang.
"Ify kamu tau, kan, Tante lagi kesulitan uang. Anak-anak kos udah nggak ada yang bayar. Sekarang, ada orangvyang mau bayar, yah, Tante nggak bisa nolak," jelas Winda yang membuat Ify tak jadi protes lagi.
"Iya sih, tapi... apa cowok itu bisa dipercaya? Kalo ntar dia ngapa-ngapain aku, gimana?" tanya Ify, intonasi suaranya sudah menurun.
"Kalo dia ngapa-ngapain kamu, ya malah enak, kan, orangnya cakep ini," ujar Winda santai. Tentu saja Ify melotot mendengar jawaban itu. "Iya, iya. 
Kalo ada apa-apa, kamu tinggal teriak aja. Kamu jangan lupa selalu kunci pintu." Windai cepat-cepat melanjutkan kalimatnya.
Ify menghela napas, tak tahu lagi harus berkata apa. Sepertinya, mulai sekarang, dia harus terbiasa dengan makhluk asing yang tinggal di sebelahnya.
Ify naik ke kamar dengan tubuh lunglai. Sebenarnya, Ify merasa ngeri harus bersebelahan dengan cowok asing, tetapi berhubung Ify tinggal di sini secara gratis, dia tak bisa protes. Memang benar, tantenya sedang mengalami kesulitan keuangan, jadi Ify harus maklum kalau ia menerima 
siapa saja yang membayar untuk kos sebobrok ini.
Ify sampai di lantai dua, menatap pintu sebelah kamarnya dengan sebal. Di antara dua puluh kamar, kenapa harus kamar sebelahnya yang masih bisa dipakai?
Ify berdecak sebal, dan memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Masih banyak yang harus dikerjakannya daripada memikirkan makhluk tidak jelas di 
sebelah kamarnya itu. Menjadi penulis best-seller, misalnya.
Baru saja ia hendak masuk, pintu di sebelahnya terbuka. Rio keluar dengan handuk tersampir di bahunya. Ify dan Rio saling tatap, seolah mempunyai pertanyaan untuk ditanyakan kepada satu sama lain.
"Elo..."
"Kamar  mandinya di mana?" tanya Rio sebelum Ify sempat menyelesaikan  kalimatnya.
"Hah? Oh, di ujung situ," kata Ify sambil menunjuk  ruangan di ujung gang.
Rio segera bergerak ke sana. Ify tiba-tiba  tersadar. "Eh! Woi, woi! Jangan pake kamar mandi di situ!"
Rio  berhenti dan menoleh. "Kenapa?" tanyanya.
"Itu kamar mandi cewek!  Kamar mandi cowok yang di bawah!" sahut Ify lagi.
"Tapi kamar gue,  kan, di lantai ini, jadi kamar mandinya yang di lantai ini juga dong,"  Rio membalas.
"Hah? Tapi! Itu kan... kamar mandi cewek!" Ify masih  bersikeras meski tak punya alasan yang lain.
"Emang apa bedanya,  sih? Sama-sama kamar mandi, kan?" Rio bertanya tak sabar.
"Ya,tapi, kan... jijik!" sahut Ify sambil membayangkan hal-hal apa yang bisa  dilakukan cowok itu di kamar mandi. Kamar mandi yang sudah beberarapa  bulan terakhir menjadi kamar mandi pribadinya.<
"Oh...," gumam Rio.  Gumaman itu membuat Ify lega karena sepertinya cowok itu mengerti.  Namun, perkiraannya meleset karena setelah itu Rio malah
melengos dan  tetap bergerak menuju kamar mandi di depannya.
"Woi!" teriak Ify,  tapi Rio sudah keburu menghilang di balik pintu kamar mandi. Ify cuma  bisa melongo, ia merasakan firasat buruk tentang kehidupannya ke depan  bersama cowok aneh itu.
Baru beberapa detik, Rio keluar lagi dari  kamar mandi, membuat Ify menatapnya dengan
heran. Rio melambai-lambaikan  tangan memanggilnya.
"Apa?" tanya Ify sebal.
"Tolong ya,  peralatan perang lo diambil dulu," ujar Rio.
Ify mengernyit tak  mengerti. Namun, beberapa detik kemudian, Ify langsung teringatkan  pakaian dalamnya yang sejak mandi tadi pagi belum diambil.
"HUAAA!" seru Ify histeris dan segera berderap menuju kamar mandi untuk mengamankan pakaian dalamnya yang menggantung di balik pintu. Dia 
menatap curiga pada Rio yang tampak malas.
"Makasih," kata Rio 
pendek, dia segera masuk ke dalam kamar mandi,meninggalkan Ify yang melongo parah. Detik berikutnya, Ify tersadar.
""WOII! Elo tadi liat, ya? Heeii!" seru Ify sambil mengedor-gedor pintu kamar mandi, tapi yang terdengar hanya bunyi cebar-cebur orang mandi.
Ify semakin tak bisa berkonsentrasi pada karya tulisnya setelah kejadian aneh tadi sore. Tetangga barunya tiba-tiba datang, memakai kamar mandinya, dan 
melihat pakaian dalamnya. Sambil berbaring di lantai, Ify menghela napas putus asa.
"Kenapa, sih, saat gue butuh konsentrasi, malah dateng  orang aneh...," gumamnya kesal.
Tiba-tiba,terdengar suara  langkah-langkah kaki di luar. Menurut Ify, itu pasti langkah si cowok  aneh. Tadi orang itu pergi keluar. Iseng, Ify membuka pintunya dan  melongok ke kiri. Rio sedang mencari-cari kunci kamarnya.
Di tangannya  terdapat plastik besar berisi berbagai macam mie cup dan air  mineral.
"Elo bisa makan di rumah Tante Winda," kata Ify membuat Rio  menoleh. "Semua anak kos makan di sana."
"Nggak usah," jawab Rio,  sambil tetap mencari-cari kunci di seluruh kantongnya. Ify  mengangguk-angguk pelan.
"Soal minum, bakal mahal, lho, kalo  selalu beli satu literan. Elo bisa langganan galon di Tante Winda."
"Nggak  perlu. Gue nggak bakal lama di sini." Kali ini Rio sudah mulai  berkeringat dingin karena tidak menemukan kuncinya.
"Oh, gitu."  Ify masih penasaran. "Kalo nggak bakal lama, kenapa ngekos? Pake bayar  lunas, lagi."
Rio menghela napas panjang dan menatap Ify. "Gue  punya alasan-alasan tertentu yang nggak harus gue bagi sama semua  orang," jawabnya dingin yang langsung membuat Ify cemberut.
"Iya,  iya, sok rahasiaan amat," ujar Ify keki, dan Rio kembali mencari  kuncinya. "Terus, elo asalnya dari mana?"
Rio putus asa mencari  kuncinya. Iseng, dicobanya membuka pintu. Ternyata,pintu itu tidak  dikunci dan kuncinya masih tergantung di dalam. Rio menghela napas  lelah. Dia menoleh pada Ify yang tampaknya masih menunggu jawaban.
"Dari  sana," jawab Rio asal sambil menunjuk ke
atas. Ify mengikuti arah jari  Rio sambil menatap langit-langit.
Wajahnya mengisyaratkan kebingungan.
"Hah?  Dari mana?" tanya Ify bingung. "Oh, gue tau. Jakarta, ya?"
"Bukan,"  kata Rio, hampir mendengus.
"Oh... Atau mungkin dari Depok?"  tebak Ify lagi
"Bukan. Gue dari sana," kata Rio sambil menunjuk ke  atas lagi. "Dari Mars."
"Hah?"
Ify bingung, tetapi Rio sudah  masuk ke dalam kamarnya sebelum Ify sempat bertanya lagi. Ify  menggeleng-geleng simpati. "Hhh... udah gue
kira. Anak ini pasti punya  kelainan jiwa," gumamnya lagi sebelum
melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar