Jumat, 15 Maret 2013

Exchanged


Part 1 : “SANG PANGERAN IFY”

“Ya ampun, fy. Kamu tuh hari pertama udah telat aja sih!” Gerutu Shilla ketika baru melihat Ify memasuki ruang makan. Disana anggota keluarga sudah lengkap duduk dan melahap sarapannya. Kecuali Ify yang memang baru datang.
Ify hanya terkekeh lemah. Lalu duduk dibangkunya dulu sebelum akhirnya menjawab ucapan kakaknya perempuan yang hanya beda satu tahun darinya. “Justru karena hari pertama barang-barang yang harus aku siapin itu ribet banget. Untung sekolah ini sekolah Griya Nusantara itu sekolah unggulan jadi MOSnya nggak aneh-aneh kayak sekolah lainnya”
Shilla Cuma bisa mencibir pelan saja melihat adiknya yang memang punya predikat paling lelet di rumah ini. Piring yang berisi nasi gorengnya sudah habis dan Shilla pun bangkit dari bangkunya. Dari luar rumah terdengar suara klakson motor.
“Sama Alvin, shil?” Tanya Septian cuek tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari buku yang menemaninya sarapan itu, ketika melihat sosok Alvin dari balik jendela di ruang makan itu. Shilla mengangguk. Masih sibuk menenggak habis jus jeruk miliknya. Lalu setelah habis, gelas dan piring kosong itu di bawa ke tempat cuci piring.
“Aku kan panitia MOS kak. Harus datang pagi. Kalau bareng kakak bisa-bisa aku kesiangan. Ify kan lelet” Ucap Shilla melirik Ify sebentar melalui sudut matanya lalu pergi meninggalkan ruang makan itu namun sebelumnya pamit pada Mama yang masih sibuk dengan rutinitas paginya dan papa yang sedang asyik menyesap kopinya sambil membaca Koran.
Mendengar komentar Shilla, Ify sih maunya membalas. Tak terima ia dijelek-jelekan seperti itu, tapi sayangnya, Shilla sudah menghilang disusul dengan deru motor Alvin yang semakin menghilang. Terpaksa diurungkan niatnya untuk membalas perkataan Shilla.
Ozy, adik bungsunya juga sepertinya sudah selesai makan bangkit dari bangkunya dan menaruh piring dan gelas yang susunya sudah habis ke dapur. “Pa, Ozy udah siap” ujar Ozy dan Papa pun bangkit menghabiskan kopinya yang masih setengah tinggi gelas tersebut lalu berjalan bersama Ozy ke halaman rumah mereka. Dimana mobil Avanza dinas papa, terparkir disana.
Ozy yang masih SMP memang berangkat diantar oleh Papa karena sekolahnya yang arahnya berbeda dengan sekolah Ify dan Shilla. Sedangkan Ify dan Shilla biasanya bareng Septian, kakak tertuanya yang sekalian berangkat kuliah ke Universitas Indonesia di Salemba. Pasalnya Septian merupakan mahasiswa kedokteran di Universitas ternama itu. Tapi hari ini, hari dimana pertama kalinya Ify masuk SMA, Shilla yang merupakan pengurus OSIS memilih berangkat bersama Alvin, pacarnya yang sudah jalan selama lima bulan itu. Takut telat katanya.
Tiba-tiba kepala Ify merasa dipukul sesuatu pelan. Ify mendongak mendapati Septian juga sudah selesai makan. “Cepetan nanti kakak tinggal loh! Kuliah pagi nih, fy” terpaksa Ify harus makan dengan terburu-buru supaya tidak benar ditinggal Septian. Dia kan kalau mengancam tak main-main.
--- * --- * --- * ---
Buku penghubung itu ia tatap. Sudah ada lima buah tanda tangan para pengurus OSIS. Pertama tanda tangan Shilla, yah walau memang tak diberi Cuma-Cuma dengan alasan adik, tapi Shilla tak memberinya tugas yang aneh-aneh. Kedua Alvin, berhubung Ify adalah adik pacarnya, ia juga tak terlalu sulit meminta tanda tangan Alvin. Sisanya adalah pengurus-pengurus OSIS lainnya.
Setelah menatapi buku penghubungnya, Ify mengedarkan seluruh pandangannya ke segala arah. Berharap ia bisa menemukan pengurus osis yang tidak dikerubuti banyak orang. Dan pandangannya jatuh pada sosok laki-laki yang sedang meminum air mineral ditengah lapangan. Tak ada seorangpun yang sedang menghampirinya.
Senyum diwajah Ify semakin merekah begitu melihat siapa laki-laki itu. Ia kenal dia, karena dia juga teman Kakaknya dan pernah beberapa kali datang kerumahnya untuk kerja kelompok. Dan semenjak pertemuan pertama mereka, Ify memang sudah menyukainya. Diperhatikannya setiap lekuk wajah yang menurut Ify cetakan sempurna Sang Maha Pencipta. Dengan tubuh yang kurus dan rambut yang di berdirikan agak basah karena keringat ia benar-benar sosok malaikat dimata Ify. Walau kurus tetap saja terlihat altletis.
Ify memantapkan hatinya melangkah mendekati laki-laki itu. Berharap laki-laki itu masih bisa mengingat Ify sebagai adik Shilla dan memberikan tugas ringan untuk Ify. “Permisi, Kak Gabriel” sapa Ify pada laki-laki yang ternyata bernama Gabriel Itu.
Gabriel berhenti menenggak air mineral dari botolnya lalu menoleh kearah suara yang memanggilnya. Mengangkat alis menatap Ify, ia tahu apa yang pasti akan diminta Ify. Ujung bibirnya terangkat membentuk seulas senyuman licik. Ia memang sudah mendengar dari Alvin dan Shilla kalau adiknya Shilla yang satu ini memang memilih masuk ke sekolah ini.
“Kak, boleh Ify minta tanda tangan Kak Gabriel?” Tanya Ify sopan sambil mengulurkan buku penghubung berserta pulpen pada Gabriel.
“Boleh, kok” Jawab Gabriel manis membuat Ify merasakan detak jantungnya tak karuan. Ia memilih untuk menunduk daripada menatap wajah Gabriel yang bisa-bisa membuatnya semakin salah tingkah. Menghindari kontak mata langsung dengan si pemilik mata bening itu. “Tapi ada syaratnya”
Sudah Ify duga. Mana mungkin sih ia dapat tanda tangan Cuma-Cuma?! Pikir Ify. Tapi ia mengangguk. Siap menerima tantangan dari Gabriel.
“Gue mau lo tembak gue. Disini dilapangan ini, sekarang” Perintah Gabriel, memberi penekenan pada kalimat terakhirnya. Dengan sebuah senyum miring ‘iblis’ miliknya. Hatinya seakan terlonjak senang bisa mengerjai adik kelas yang satu ini.
Ify terdiam tak percaya. Akhirnya mengangkat wajahnya. “Tapi, kak…” Ify tak terima. Malu kan kalau harus nembak ditengah lapangan seperti ini. Kalau seandainya yang menyuruhnya bukan Gabriel, Ify sih mau-mau saja. Tapi ini kan Gabriel. Secara laki-laki yang memang benar-benar Ify sukai. Dia pasti akan malu sekali.
Gabriel berjalan pergi. “Kalau nggak mau ya udah. Gue nggak rugi kok”
Reflek, saat melihat Gabriel pergi, Ify menggenggam lengan Gabriel. Menahannya. Gabriel menoleh. Mengangkat alis menanti pernyataan setuju dari Ify. Dengan berat, Ify menghela nafas dan mengangguk. “Ya udah deh kak” Jawabnya tak bersemangat.
Ditatapnya Gabriel yang berdiri kembali seperti posisinya tadi. Menunggu Ify melaksanakan perintahnya. Ify hanya diam tak bersuara. Rasanya berat sekali harus mengucapkan itu kalau memang benar-benar menyukainya. “Kak.. Ify suka sama kakak” ujarnya lirih dan pelan. Nyaris berbisik. Kepalanya ditundukkannya. Tapi cukup untuk hanya didengar mereka berdua.
“Kamu ngomong apa, fy? Gue nggak denger? Ngomong pelan banget sih” Teriak Gabriel membuat beberapa orang jadi menoleh kearah mereka. Dan mulai menonton adegan penembakan Ify terhadap Gabriel.
Ify menggigit bibir tak peduli saat ia merasakan cairan merah keluar dari bibirnya. Seharusnya ia tahu kalau Gabriel memang sengaja mempermainkannya. Ia hanya lupa. Shilla pernah bilang padanya kalau Gabriel itu orangnya jahil dan mungkin karena itu ia bisa punya ide-ide unik yang lain daripada yang lain. Seperti sekarang. Supaya ia terlihat ‘laku’ mungkin.
“Aku suka sama kakak” Ujar Ify lebih keras. Gabriel malah menggeleng-geleng pura-pura bingung. Ekspresi yang membuat Ify ingin sekali melempar apa saja yang bisa dilemparnya sekarang kewajah tampan itu.
Tampak semakin banyak yang memperhatikan mereka.
Ify menghela nafas lalu memejamkan matanya. “Aku suka sama kakak… sejak pertama kali aku ketemu kakak” kata-kata terakhir diluar kehendak Ify. Membuat Ify langsung buru-buru menutup mulutnya kaget. Didepannya Gabriel semakin tersenyum iblis. Kenapa tiba-tiba kata-kata itu bisa keluar begitu saja sih? Bodohnya ia.
“Kamu yakin, fy? Aku perlu bukti” Gabriel Nampak berfikir. Sambil menatap wajah Ify yang mulai memerah. Seakan sangat menikmati pemandangan itu seperti sedang menikmati sebuah pertunjukan lucu dari badut disebuah sirkus. “Aku mau…” Kalimatnya tergantung. Menimang-nimang keputusannya. Lalu kembali menatap Ify dengan senyuman liciknya. Yang membuat Ify muak tapi juga semakin berdebar-debar. “kamu bacain aku puisi yang mengungkapkan perasaan kamu”
Spontan, Ify menggeleng. Mana mungkin dia bisa membuat puisi secara dia itu paling payah di pelajaran bahasa Indonesia. Buktinya saja, nilai ujiannya semua tiga pelajaran seperti IPA, Matematika dan Bahasa Inggris sih patut diacungi jempol karena mendapat nilai diatas Sembilan. Tapi jangan harap melihat nilai indah itu dipelajaran bahasa Indonesia yang hanya mendapat nilai 7,8. Untung saja ia sudah ikut tes masuk sekolah ini dan lulus.
Lalu seperti tadi Gabriel berlalu pergi. “kalau nggak mau ya terserah” jawabnya. Ify memutar pandangan keseluruh penjuru sekolah dan melihat banyak sekali yang menonton mereka. Dengan berat Ify pun meraih lengan Gabriel lagi. Tak mau kalau perjuangan yang membuatnya telah merasa dipermalukan itu tak menghasilkan apa-apa. Sama sekali tak mendapatkan tanda tangan Gabriel. Ia tak suka sesuatu yang diselesaikan tanggung.
“Oke, oke. Aku mau” Ujarnya kesal. Bibirnya manyun. Ini sama sekali tak lucu menurut Ify.
Tak sadar kalau dipinggir lapangan Shilla bersama dengan Alvin sudah memperhatikan sambil geleng-geleng kepala. Bukan Gabriel namanya kalau tak membuat sensasi yang lain daripada yang lain. Itulah cirri khasnya Gabriel. Tapi Alvin tak menyangka Gabriel akan memakai cara ini supaya bisa ‘jadian’ dengan Ify. Pasalnya dia memang tahu kalau Gabriel sebenarnya menyukai Ify.
Gabriel mengangkat alis. Menunggu Ify berkata-kata kembali. Karena sejak satu menit yang lalu setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, Ify terus bungkam. Ia seakan tak sabar menanti puisi macam apa yang akan dibacakan Ify untuk mendeklarasikan perasaannya pada semua orang yang menonton. Gabriel semakin asyik menikmati hal ini.
Berbeda dengan perempuan lain, itulah penilaian Gabriel tentang Ify. Biasanya gadis lain kan akan langsung bersikap lemah dan sopan atau apalah tapi Ify malah selalu menantang terlebih dahulu. Begitulah Ify. Tak mudah ditekuk lututkan.
Ify menghirup udara siang yang sama sekali tak sejuk lagi lalu menghembuskannya.
“Dirimu, bagai pahatan sempurna hasil karya sang maha pencipta
Pemandangan yang pertama kali membuatku terpana
Sejak hari itu, tak bisa kupungkiri kau selalu ada
Dalam setiap sel otakku, setiap mimpiku
Namun hati tahu, aku hanya bisa memandangimu dari jauh
Kupikir itu cukup untuk perasaanku
Tapi kenapa hati tak pernah puas disetiap kehadiranmu
Kenapa berat bagiku jikalau kau hanyalah pangeran dalam mimpiku
Obsesiku berkata, aku ingin… bisa memilikimu
Aku ingin bisa memandang indahnya dirimu sebagai milikku
Aku tak puas hanya menjadi seseorang dalam bagian kecil hidupmu
Aku juga ingin bisa mengisi hari-harimu
Seperti kau mengisi seluruh kehidupanku
Dirimu, dan ukiran wajahmu, mungkinkah bisa kumiliki?” Jauh berbeda dengan kenyataan bahwa ia payah di bahasa Indonesia, ia membacakan puisi ini dengan penuh pengkhayatan. Membuat semua orang yang tadinya riuh langsung hening. Kagum. Gabriel pun terbengong tak percaya mendengar puisi indah buatan Ify. Padahal ia hanya membuatnya dalam waktu kurang dari dua menit saja.
Mungkin karena itu dari hati. Yang tanpa sadar Ify gunakan saat membaca puisi itu sambil menatap wajah Gabriel. Seolah puisi itu tertulis jelas disetiap sudut wajah Gabriel.
Sebisa mungkin Gabriel kembali ke sikap wibawanya. “Lalu?” tanyanya masih saja ingin mengerjai Ify. Belum puas apa membuat wajah Ify yang kini mirip dengan kepiting rebus saking malunya.
Ify mendesah sebal. Sudah benar-benar tak suka dengan permainan Gabriel. “Mau nggak kakak jadi pacar Ify?” Ujarnya asal jutek.
“Mau”
Satu kata memang, dan hanya terdiri dari tiga huruf. Tapi cukup bisa membuat mata Ify membelalak kaget menatap Gabriel tak percaya. Tak tahu harus mengartikan perasaannya yang langsung tak karuan. Ify terkekeh, lebih terkesan getir. Kalau mau bercanda seharusnya bisa kira-kira dong. Ini udah keterlaluan. “Kakak, permainannya gak lucu tau! Sekarang puas kan? Mana tanda tangannya?” Nadanya lebih terdengar lembut yang dibuat-buat.
“Seorang Gabriel Stevent Damanik nggak pernah asal berbicara. Dia selalu mempertanggung jawabkan kata-katanya. Dan tadi gue bilang ‘MAU’ jadi sekarang kita pacaran” Jawabnya enteng. Membuat mulut Ify ternganga. Begitu juga yang menyaksikan itu. Shilla dan Alvin makin geleng-geleng tak percaya dengan kelakuan Gabriel yang unik. Mau jadian aja ribet banget sih!
Gengsi banget lagi sampai menyuruh Ify yang nembak duluan.
Tanpa menunggu jawaban dari Ify, Gabriel mengambil buku penghubung Ify dan menandatanganinya. Dibawahnya tertulis.
-Iel, sie. Kewarganegaraan (pacar Ify)-
Setelah puas menulis itu, ia menyerahkannya kembali ke Ify dan kemudian menarik lengan Ify. Menuntunnya kepinggir lapangan. Tak peduli pipi Ify yang merah sekali sambil memperhatikan tulisan Gabriel. Bingung mau terlonjak girang atau marah karena sikap seenaknya Gabriel.
“Panas, fy ditengah lapangan kayak gitu. Pipi kamu jadi merah tuh” candanya santai.
Membuat pipi Ify malah semakin panas. Apalagi ketika menatap tangannya yang tengah digenggam lembut oleh tangan Gabriel. Ingin rasanya Ify langsung terbang kelangit ketujuh. Seandainya ini mimpi, Ify sama sekali tak ingin mengakhiri mimpi ini. Ia pun tersenyum menatap punggung Gabriel sambil berjalan ke koridor sekolah.
‘Ini bukan mimpi, fy. Ini kenyataan. Gabriel pangeran kamu, fy sekarang benar-benar jadi milik kamu’
--- * --- * --- * ---
“Thanks ya, kak” ucap Ify pelan setelah turun dari motor tiger milik Gabriel. Gabriel membuka kaca helmnya lalu tersenyum manis sekali pada Ify.
“Sama-sama, fy. Aku kan pacar kamu sekarang” Ya, sejak tadi itulah yang selalu dikatakan Gabriel setiap Ify masih belum terbiasa dengan sikap dan perhatian dari Gabriel padanya. Semua yang entah mengapa masih belum sepenuhnya Ify bisa percayai. Ia kini adalah pacar Gabriel.
Mendengar jawaban itu, Ify hanya sanggup membentuk garis tipis pada bibirnya. Ingin sebenarnya ia membentuk senyum jauh lebih manis dan lebih indah pada Gabriel. Agar Gabriel tak mengira kalau dia tak suka pacaran dengan Gabriel. Tapi semua ini masih terasa bagai mimpi bagi Ify. Mimpi indah yang membuat Ify tak ingin terbangun dari tidur.
Diperhatikannya, Gabriel yang memutar motornya. Bersiap-siap pergi. Ia beralih pada Ify yang masih berdiri didepan gerbang. Sekali lagi tersenyum manis. “Fy, maaf ya aku nggak bisa mampir. Mau pergi ke rumah temen dulu”
Ify hanya mengangguk kecil dan motor tiger itu pun melaju meninggalkan rumah Ify. Menghilang dibalik tikungan jalan. Ify berbalik arah untuk membuka pagarnya dan masuk kedalam rumah. Setiap langkahnya, diwajah Ify terpatri senyuman lebar. Membayangkan setiap detik yang terjadi hari ini. Dimana ia langsung merasa menjadi artis dadakan. Tiba-tiba saja menjadi pembicaraan banyak orang. Dan hampir semua kakak kelas panitia MOS mengenalnya.
Saat ini Ify bagaikan berada dalam cerita di dongeng. Gadis sederhana sepertinya, yang tiba-tiba bertemu dengan seorang pangeran tampan lalu mendapatkan cinta sang pangeran itu. Tentunya Gabriel lah pangeran itu. Seorang pangeran impiannya dulu.
Ia melewati ruang tamu masih dengan sebuah senyum menghiasi wajahnya, membuat Ozy mau tak mau heran melihat tingkah kakaknya. Secara ia melihat baru pertama kali Ify bisa senyum semanis itu. Dan anehnya, kenapa pulang-pulang dia senyum-senyum seperti itu. Tapi Ozy sama sekali tak berniat bertanya pada kakaknya, hanya bisa menggeleng-geleng saja. Memilih untuk kembali menikmati film yang ia tonton.
---*---*---*---

Siang telah berganti sore. Dan sepanjang itu pula, Ify menghabiskan waktu untuk berkhayal dan akhirnya malah tertidur dikamarnya hingga Shilla mengusiknya. Ia masuk dengan seenaknya dan duduk disamping Ify yang tertidur. Ekspresi wajahnya mengisyaratkan ketidak sabaran dihatinya. Siap-siap menghujam Ify dengan banyak pertanyaan.
“Ify, bangun. Udah pengen magrib tahu!” Protes Shilla sambil mengguncang-guncang tubuh Ify. Mau tak mau Ify membuka matanya. Malas-malasan. Ia mengerang sebentar lalu mengusap-usap matanya. Menguap sekali hingga matanya terbuka seutuhnya.
Melihat Shilla sedang menatapnya seperti ingin memakannya bulat-bulat, Ify manyun. Tubuhnya berguling memunggungi Shilla. “Ganggu aja, kak Shilla. Ify kan masih ngantuk”
“Udah pengen magrib, fy” ulang Shilla. Gemas. “Terus gue juga mau denger cerita versi kamu, fy. Kok bisa sih sampe kayak tadi”
Dengan enggan Ify bangun. Sebenarnya ia malu mengingat kejadian tadi siang. Dimana Ify ‘menembak’ Gabriel. Ia mengangkat sebelah alisnya menatap Shilla. Masih dengan tampang kusutnya sehabis tidur. “Emang kakak udah denger cerita versi Kak Gabriel?”
Shilla mengangguk. “Di ruang OSIS pas istirahat tadi, kakak sama Alvin mengintrogasinya dengan pertanyaan. Dasar tuh anak, suka banget bikin sensasi. Emang bukan dia kalau nggak lain daripada yang lain”
Mereka tertawa. Lalu Ify mulai menceritakan bagaimana, ia berniat meminta tanda tangan Gabriel lalu malah dapat perintah seperti itu. dan juga sikap Gabriel yang sok penting yang pura-pura ingin meninggalkan Ify. Lalu puisi buatan kilatnya yang entah mengapa terlontar begitu saja dari mulutnya saat menatap wajah Gabriel. Sampai sebuah pernyataan kalau Ify masih setengah percaya dengan semua kejadian ini. Bahkan juga bahwa Ify sebenarnya telah menyukai Gabriel sejak pertama kali bertemu beberapa bulan yang lalu. Shilla hanya tertawa mendengar setiap cerita Ify.
“kamu senang dong, fy?” Ledek Shilla yang sukses membuat pipi Ify memerah. Ify hanya mengangkat bahu dan mengalihkan pandangannya menutupi wajahnya yang memerah itu dari kakaknya. Tak mau mendapat ejekan lebih dari ini. “Tapi fy, kak Shilla kasih tahu aja ya. Kakak tahu bagaimana sifat kamu dan bagaimana sifat Gabriel yang menurut kakak disatu sisi kalian cocok tapi disatu sisi kalian berlawanan. Tapi ada kalanya, kamu yang keras kepala dan manja itu, fy harus bisa lebih pengertian sama Gabriel. Gabriel itu… adalah sosok orang yang selalu mengejar obsesinya dan sangat peduli pada teman. Dan kalau sudah seperti itu, apapun akan ia nomor duakan. Kakak harap kamu bisa mengerti dan memahami Gabriel jika saat itu datang”
“Maksud kakak?”
“Gabriel itu, yah pokoknya begitulah. Kamu jangan marah kalau suatu saat Gabriel lebih mementingkan obsesinya daripada kamu. Dan sering menelantarkan kamu. Kamu yah pokoknya jangan menuntut macam-macam dari Gabriel pokoknya” Jelas Shilla. Ify termenung dengan kata-kata kakaknya. Tapi akhirnya tersenyum.
“Apakah itu yang membuat kakak putus sama Kak Gabriel?” Tanya Ify agak hati-hati. Sebenarnya Gabriel itu adalah pacar Shilla sebelum Shilla pacaran dengan Alvin. Tapi hubungan mereka tak lama. Hanya satu bulan lalu kandas. Setelah itu walau mereka putus, bukan berarti hubungan mereka memburuk. Mereka malah menjadi sahabat yang baik. Hingga akhirnya Gabriel memperkenalkan Alvin pada Shilla. Dengan cara yang lain daripada yang lain (seperti biasa khas Gabriel) Gabriel menjodohkan, Shilla dengan Alvin. Maka sekitar tiga bulan setelah mereka putus, Shilla dan Alvin pacaran.
Shilla hanya mengendikkan bahu. Tersenyum menerawang. “Mungkin. Waktu itu karena ternyata Gabriel sangat peduli pada Alvin. Dia tahu kalau Alvin suka sama kakak” Merasa Ify mengalihkan pembicaraan mereka, Shilla kembali ke topick. “Kamu bisa kan fy? Mempersiapkan diri kalau suatu saat Gabriel menomor dua kan kamu?”
Selagi ia bisa, ia akan berusaha untuk bisa menjadi yang terbaik untuk Gabriel. Sebuah anggukan dari Ify pada kakaknya. Matanya memancarkan sebuah keyakinan untuk menyanggupi nasihat kakaknya. “Pasti, kak karena aku sayang sama Kak Gabriel”
--- * --- * --- * ---
Disebuah kamar luas bercat tembok warna cream, seseorang tengah tertidur dalam keheningan. Drrt..drrt… phonecell sony ericsson Aino miliknya bergetar-getar diatas meja kecil dimana lampu diletakkan. Memintanya untuk diangkat. Membuat mau tak mau si pemilik phonecell itu terbangun. Sambil meraba-raba meja disamping termpat tidurnya itu, ia meraih phonecellnya. Menyentuh layar bertuliskan answer lalu menempelkannya ditelinga. Tanpa sedikit pun melihat nama si penelepon.
“Halo?” Sapanya dengan mata masih terpejam.
“Kak, kakak ada dimana?” Tanya suara perempuan diseberang sana. “Aku ke rumah kakak tadi dan kata para pembantu kakak pergi dari kemarin. Emang kakak nggak sekolah hari ini?”
Laki-laki itu menghela nafas panjang lalu bangun dari posisi tidurnya. Sebelum ia menjawab pertanyaan perempuan diseberangnya yang sepertinya khawatir dengan hilangnya dia dari rumah. “Aku lagi ada diluar kota. Aku emang nggak sekolah hari ini, Cuma hari pertama paling belum belajar. Aku pulang besok”
“Kakak seenaknya aja ya? Main menghilang begitu aja dari Jakarta. Do you know that I’m really anxious about you?” Katanya dengan nada suara agak ditinggikan. Seperti seorang ibu yang marah memperingati anaknya. “Tapi kenapa kakak begitu aja pergi sih? Have any problem? You can tell to me” Suaranya berubah jadi lembut dan penuh perhatian.
Laki-laki itu menggeleng. Walaupun ia tahu pasti gadis manis yang tengah berbicara dengannya melalui via telepon tak mungkin melihatnya. “I’m okay. Really okay. Cuma aku malas aja masuk sekolah hari ini. Nggak tau kenapa, jadinya kabur ke luar kota deh”
Terdengar hembusan nafas dari seberang sana. “Terserah kakak deh. Tapi kakak harus janji kalau kakak pulang besok”
“Iya, aku ngerti. Aku pulang besok pagi-pagi banget kok. Nah sekarang biarin aku istirahat dulu ya, tadi aku lagi tidur dan kebangun gara-gara telepon dari kamu”
“Ya udah. Selamat istirahat ya kak” Kemudian telepon ditutup oleh perempuan diseberang sana. Nadanya agak sedikit ketus. Padahal tadinya ia berharap kalau laki-laki itu mau bertanya sedikit untuk sekedar basa-basi tentang sekolah SMAnya dihari pertama. Tapi harapannya sama sekali tak terwujud.
Phonecellnya ia letakkan kembali di meja belajar. Dimana sebuah pigura terpajang disana dengan foto tiga orang anak kecil disana. Mereka tersenyum manis bersama-sama. Ia menghela nafas panjang. Mengusap salah satu wajah anak kecil itu. Menatapi senyum manis itu. Apakah ia tak pernah bisa melihat senyuman itu lagi. Apakah senyuman itu lenyap bersama dengan semua kenangan ini.
Diletakkan kembali figura itu. Ia tak mau berlama-lama mengenang semuanya. Ia tak mau ikut hanyut dalam kesedihan yang selalu sama.


Part 2 : “SEBUAH NAMA BAGAIKAN MIMPI BURUK”

Murid-murid sudah banyak berpulangan dari sekolah. Menyisakan segelintir orang di lingkungan sekolah yang cukup luas ini. Kebanyakan dari mereka adalah panitia MOS yang masih sibuk mempersiapkan penutupan MOS esok hari. Disebuah kelas yang hampir kosong. Hanya ada Gabriel seorang diri yang tengah memasukkan buku-bukunya kedalam tas. Bersiap-siap untuk pulang karena Ify telah menunggunya dibawah.
Alvin masuk kedalam kelas itu. Ia memang berbeda kelas dengan Alvin. Ada beberapa hal yang harus ia bicarakan pada Gabriel mengenai hari esok. Karena itu ia menenteng beberapa kertas ditangannya. Kertas yang niatnya ingin ia berikan pada Gabriel. Shilla sudah ia suruh tunggu dibawah.
Ia menghampiri bangku Gabriel. Yang terletak tiga baris dari pintu di deret ketiga juga. Dari ekor matanya ia sempat melirik kebangku sebelah Gabriel. Dimana bangku itu tampak kosong.
“Dia nggak masuk lagi hari ini?” Tanya Alvin sambil menunjuk bangku itu dengan dagunya. Hanya sekedar meyakinkan.
Tadi pagi saat ia mendatangi kelas ini, si pemilik bangku ini memang tak ada. Bangkunya kosong. Padahal biasanya ia selalu datang paling pagi. Alvin dan Gabriel memang sibuk sekali hari ini sehingga sama sekali tak mengikuti pelajaran berlangsung tapi setidaknya mereka pasti akan melihat si pemilik bangku ini masuk atau pasti kalau ia masuk, saat istirahat, ia akan menghampiri mereka.
Gabriel ikut melirik bangku kosong itu lalu mengangkat bahu. Kemudian memakai tas ranselnya dikedua pundaknya. “Gak tau. Kemarin gue ke rumahnya, Cuma ada pembantu-pembantunya. Dan nggak ada satupun dari mereka yang tahu ‘majikan’ mereka itu kemana. Katanya udah nggak pulang selama dua hari” Jelasnya.
Mereka berjalan beriringan. “Gue bingung sama dia. Hilang tanpa jejak begitu aja, nggak tahu kalau kita sebenarnya khawatir sama dia. Kemarin si Via juga nelepon gue. Nanyain tuh anak kemana” Alvin mengacak-ngacak rambutnya. Agaknya frustasi dengan perbuatan sahabatnya yang satu itu.
Siapa juga yang tak khawatir kalau sohibnya hilang begitu saja. Tanpa kabar sedikit pun. Yang mereka takutkan kalau terjadi apa-apa dengan dia. Apalagi mereka yang tahu seperti apa sahabatnya itu. Takut-takut mendapat berita yang tak mengenakkan dari pihak yang tak mereka inginkan seperti polisi atau rumah sakit.
“Gosip itu nggak baik. Apalagi tentang gue” Suara itu membuat mau tak mau Gabriel ataupun Alvin bersamaan mengangkat wajah mereka. Menatap orang yang berbicara. Sebuah senyuman lebar terukir diwajah mereka begitu melihat orang yang daritadi menjadi objek pembicaraan mereka muncul dihadapan mereka, tengah bersandar didepan pintu sambil melipat kedua tangannya didada.
Gabriel buru-buru menghampirinya dan langsung menghadiahi sebuah jitakan sebagai ucapan selamat datang. “Lo kemana aja sih? Kok masuk nggak bilang-bilang!” Protesnya persis seperti seorang kakak yang mengkhawatirkan adiknya.
“Tadi gue telat” Jawabnya singkat sambil mengelus-elus dahinya yang kena ‘hadiah’ dari Gabriel itu. “Dan tadi pas istirahat gue liat lo berdua sibuk. Ya udah gue milih di dalam kelas terus”
Alvin mengerutkan kening. Matanya menyipit menyelidik sahabatnya. “Telat? That’s not like you” gumamnya tak percaya.
“Telat sekali-sekali nggak apa-apa kan? Lagipula lo tahu sendiri kalau jalan tol dari Sentul ke Jakarta itu macet banget kalau pagi” Jelasnya. Menyatakan alasan telatnya. Ia memang pagi ini berangkat dari Sentul. Tepatnya Sentul City, disalah satu villa pribadi milik keluarganya. Tempat dimana ia menghabiskan dua harinya. “Pengennya gue menghindari macet dengan naik helicopter. Tapi sayangnya sekolah kita nggak punya heliped” berbeda dari isi ucapannya yang seperti sebuah candaan nada dan ekspresinya terkesan datar.
Gabriel menatapnya tak percaya dengan pernyataan temannya yang berbicara dengan santai mengutarakan alasannya. “Jadi, lo menghilang dan pergi ke Sentul?” Tanya Gabriel sinis. Sama sekali tak mengerti jalan pikiran temannya yang satu ini. Ngapain coba pergi dari Jakarta dan menginap disana lalu berangkat sekolah dari sana. Pasti berangkatnya harus pagi-pagi sekali.
Laki-laki itu mengangguk. Santai seolah itu bukan hal yang aneh dan menurutnya wajar. Sama sekali tak peduli ekspresi aneh dari kedua sahabatnya mendengar pernyataan gamblangnya itu. Dia bahkan menambahkan.
“Cuma nginap dua hari doang di Sentul City. Udah lama gue nggak berkuda” Sama halnya dengan anggukannya. Ia menjawab santai.
Alvin dan Gabriel hanya bisa geleng-geleng kepala. Kalau liburan kan seharusnya dari kemarin-kemarin, tapi temannya satu ini malah liburan ketika sekolah sudah masuk. Asyik berkuda atau bermain golf di Sentul City padahal di Jakarta orang-orang udah agak khawatir sama dia.
Tapi setidaknya mengetahui sahabatnya baik-baik saja membuat mereka cukup lega.
“Eh, iya. Gabriel gue tadi balik lagi karena lihat lo masuk sini. Gue mau bilang, buat besok di gelar eskul, Gue pilih lo buat tanding sama gue. Gak perlu pakai latihan segala kayak eskul lainnya” Jelasnya kembali ketujuan awalnya ia yang tadi sudah mau masuk mobil melihat Gabriel memutuskan untuk balik ke kelas lagi.
Gabriel tersenyum mengacungkan jempolnya. “Beres! Gue bakal tanding serius loh”
“Itu yang gue harapkan” gumamnya.
Tiba-tiba phonecell Alvin berdering. Tangan Alvin pun bergerak merogoh sakunya dan mata sipitnya langsung membelalak –tak terlalu lebar mengingat matanya yang pada dasarnya sudah sipit- melihat nama si penelepon pada layar phonecellnya. Shilla. Ia menekan tombol reject dan menoleh pada kedua temannya.
“Gue lupa Shilla nungguin gue diparkiran” Ujar Alvin.
Shilla? Kayaknya ada sesuatu yang juga di Gabriel lupakan. Apa ya? Mata Gabriel ikut membelalak mengingat Ify juga tengah menunggunya diparkiran. “Ya ampun. Ify juga udah nungguin dari tadi” Ia menepuk dahinya.
“Ify?”
Alvin dan Gabriel menoleh kearah sahabatnya. Lalu tersenyum lebar melihat temannya yang bingung dengan nama yang asing baginya. Kalau Shilla sih, dia sudah tahu. Alvin dan Shilla kan sudah pacaran cukup lama. Tapi kalau Ify? Siapa dia? Apakah tidak masuk sehari saja, ia langsung ketinggalan berita tentang sahabatnya satu ini?
“Iya, Ify adiknya Shilla yang sekarang resmi jadi pacarnya Gabriel kemarin. Lo melewatkan sebuah tontonan seru. Gabriel bikin sensasi” Alvin menjawab kebingungan sahabatnya itu.
Laki-laki itu mengerutkan kening. Mereka kini berjalan beriringan ke parkiran. “Kok bisa? Dia anak baru disekolah ini?”
Dengan semangat ’45, Alvin pun menceritakan secara detail kejadian kemarin. Dimana Gabriel menyuruh Ify menembaknya ditengah lapangan. Menyuruh Ify membuat puisi yang tak menyangka sangat indah dan dengan santainya memutuskan secara sepihak kalau mereka resmi jadian. Kontan membuat Ify terbengong-bengong.
Mendengarkan cerita itu, sesekali sebuah garis tipis dan kecil terbentuk diwajah laki-laki berkulit sawo matang itu. Cukup untuk menyatakan ia turut bahagia atas kebahagiaan temannya juga.
Ia menoleh kearah Gabriel sambil memamerkan sebuah senyum miring. “Congratulate yel” Ujarnya tulus. Gabriel hanya terkekeh malu tangannya mengaruk belakang daun telinganya yang tak gatal. Emm, ia jadi ingin melihat seperti apa gadis yang membuat sahabatnya ini, Gabriel luluh. Setahunya, Gabriel itu tipe pemilih. Pasti gadis ini spesial.
Tak lama mereka pun tiba di parkiran. Parkiran motor dan mobil sekolah mereka jadi satu. Dari kejauhan terlihat Shilla dan seorang perempuan kurus berambut lurus panjang tengah menanti didepan mereka. Perempuan yang menurutnya bernama Ify. Sayang wajahnya tak terlalu jelas. Laki-laki itu berhenti di sebuah mobil miliknya. Sedangkan Alvin dan Gabriel menghampiri pacarnya masing-masing.
Dari tempatnya sekarnag ia masih terus memperhatikan sosok mereka. Lebih tepatnya kearah perempuan yang disamping Shilla. Penasaran dengan sosok gadis yang mampu merebut hati Gabriel. Ia langsung mengerutkan kening ketika sosok gadis itu menoleh. Memperlihatkan wajahnya.
‘emm, perempuan itu. Sepertinya pernah melihatnya disuatu tempat’ pikirnya tapi selanjutnya memilih untuk tak ambil peduli dan masuk ke mobilnya.
--- * --- * --- * ---
Sorak sorai dan tepuk tangan bergemuruh mengisi lapangan setelah gelar eskul dari eskul anggar berakhir. Wajar saja kalau eskul satu ini mendapat respon bagus dari para siswa siswi yang menyaksikan. Sebuah penampilan sempurna layaknya pertandingan nyata disebuah olahraga eskul anggar. Berbeda dengan penampilan dari eskul lain yang terlihat jelas kalau semua itu sudah diskenariokan.
Bahkan Ify sampai tak berkedip menatapi kedua orang yang sama-sama ditutup helm pelindung itu saling menyerang. Matanya memancarkan binar yang tak biasa.
Sang MC pun kemudian membacakan sekilas tentang eskul ini. “Eskul yang dibentuk sejak setahun yang lalu namun sudah menuai prestasi dalam beberapa perlombaan. Eskul ini diketuai oleh Mario Stevano Aditya Haling dan dibina oleh Pak Duta serta dilatih oleh atlet anggar professional…” Sang MC masih terus berceloteh tentang eskul tersebut.
Kedua laki-laki itu menyudahi pertarungan mereka dan memberi hormat pada para siswa dan siswi. Yang satunya, membuka helm. Banyak yang langsung menjerit histeris begitu melihat si jagoan satu itu. Namun Ify masih asyik melamun tak terlalu menyadari siapa orang itu. Hingga lengannya disenggol oleh Nova, salah satu teman barunya di SMA.
“Fy, liat tuh pacar lo. Kak Gabriel,” Nova kembali histeris lalu mengguncang-guncang lengan Ify. “Tuh, kak Gabriel senyum ke lo, fy”
Ify mengikuti arah pandang Nova, benar saja, Gabriel tengah tersenyum pada Ify diantara kerumunan banyak orang. Wajah Ify agak memerah. Tersipu, ia membalas senyum Gabriel semanis mungkin. Ternyata salah satu jagoan itu adalah Gabriel. Usai memberi hormat, kedua orang itu meninggalkan tengah lapangan.
Terdengar respon kekecewaan dari mereka. Termasuk, Nova dan Agni –yang juga teman baru Ify- mendesah. “Yah, kok Kak Mario nggak buka pelindung kepalanya sih?” Protes Nova kecewa.
“Padahal gue penasaran banget sama mukanya. Penampilannya tadi keren banget. Kak Gabriel aja sampai kualahan dan terus kalah” Tambah Agni. Membuat Ify menoleh ke Agni sambil mengangkat alis.
“Iya, gue yakin tampangnya keren. Sama kerennya kayak penampilannya” Nova menyetujui.
Bagaimana tidak. Walau baru kenal tiga hari dengan Agni, terlihat jelas kalau sifat Agni itu tomboy. Masa’ sih sampai sebegitu kecewanya tak bisa melihat wajah laki-laki misterius bernama Mario itu, yang merupakan ketua dari klub anggar ini?
“Ag, tumben lo tertarik sama cowok” Gumam Ify polos. Dan langsung mendapat pukulan pelan di pundaknya.
Agni manyun. Dia memang tomboy, tapi kan tak ada salahnya kalau dia terpesona dengan seorang laki-laki. Karena bagaimanapun dia kan tetaplah perempuan. “Jahat lo, fy! Gue kan masih normal. Masih suka cowok. Lagipula harus gue akui Kak Mario memang keren kok. Beda dari cowok kebanyakan yang memang sok keren, Kak Mario itu kerennya alami. Wajar gue penasaran bagaimana wajahnya”
“Memangnya gue nggak keren dimata lo, Ag?” Tanya seorang cowok yang tiba-tiba saja langsung ikut bergabung. Cakka, teman sekelas mereka juga yang dulunya adalah teman Agni satu SMP. Pertanyaan Cakka langsung dihadiahi toyoran dari Agni yang melengos. Merusak suasana aja Cakka.
“Ya, fy. Agni betul. Kak Mario itu terkesan, apa ya… bedalah” Tutur Nova membela Agni. Para perempuan ini sama sekali tak menghiraukan Cakka sedikit pun “Kalau lo sih nggak bakal ngerti secara lo kan naksirnya sama Kak Gabriel. Udah pacaran lagi”
“Kok jadi bawa-bawa Kak Gabriel sih? Sirik ya gue pacaran sama Kak Gabriel” Telunjuk Ify teracung kearah dua temannya itu. “Tapi, gue tertarik mau masuk eskul itu. Kayaknya, eskul itu lain dari pada yang lain”
Nova dan Agni malah mencibir. “Huh, bilang aja gara-gara disana ada Kak Gabrielnya. Iya kan?” Tuding mereka berdua.
Ify hanya bisa cengengesan sambil garuk-garuk kepala. “Itu juga salah satu alasannya. Ya udah gue mau cari Kak Gabriel dulu. Mau tanya lebih lanjut tentang eskul anggar”
Belum dijawab oleh kedua temannya, Ify langsung kabur dari sana. Keluar dari kerumunan orang. Padahal acara gelar eskul itu belum berakhir. Kepalanya celingak-celinguk mencari sosok yang sangat ia kenali. Gabriel.
Ia langsung tersenyum sumringah ketika melihat Gabriel sedang duduk di bangku kayu didepan TU. Sambil menenggak air mineral dan handuk tersampir di bahunya. Masih mengenakan seragam eskul anggar yang biasanya digunakan untuk bertanding itu.
Dengan langkah cepat, ia sudah tiba dan duduk disebelah Gabriel. Tersenyum lebar menatap Gabriel. Menunggu ia menyelesaikan minumnya. Gabriel yang menyadari itu, menoleh kearah Ify. Nampak bertanya apa yang Ify inginkan. Terlebih melihat ekspresi Ify yang sepertinya punya maksud sesuatu menemuinya.
“Apa?” Tanya Gabriel singkat. Manis.
Ify semakin tersenyum. Binar matanya menatap Gabriel penuh semangat. “Tadi kakak keren” tuturnya jujur untuk berbasa-basi. Biasanya memang itu kan yang dilakukan seorang kekasih. Memberi pujian. Tapi yang ini bukan sekedarnya. Ucapan itu memang tulus dari hati Ify. Walau sebagian hatinya mengakui yang membuat penampilan itu keren adalah Kak Mario, yang bertanding bersama Gabriel tadi.
“Thanks” Ujarnya sambil tersenyum.
“Tapi tadi kakak kalah sama Kak Mario. Pasti dia emang hebat” Tambah Ify dengan nada jahil. Berharap Gabriel akan merasa sedikit cemburu. Tapi sayangnya tidak. Ify pun kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku jadi tertarik deh ikut eskul anggar. Mau tahu lebih dalam lagi tentang olahraga beladiri itu”
Gabriel kembali tersenyum. Merasa senang kalau pacar barunya itu mau masuk eskul yang sama dengannya. Berarti kan waktu bersama-sama juga lebih banyak. “Wajar dia kan emang dari dulu sudah menekuni Anggar. Kalau begitu nanti aku kenalin ke ketuanya biar kamu bisa lebih tanya-tanya sama dia” ujarnya bersemangat. Tapi tiba-tiba ia terdiam, raut semangatnya pun memudar sepersekian detik kemudian. Mengingat keputusannya ada yang salah. “Nggak deh, jangan. Lebih baik kamu tanya sama aku atau Pak Duta aja”
“Wah, jangan-jangan kakak cemburu ya kalau misal aku deket-deket sama dia” tuding Ify. Jarinya menunjuk kearah wajah Gabriel. Sambil tersenyum jahil.
Buru-buru Gabriel menggeleng. Segera menyanggah. Mana mungkin ia cemburu pada orang itu, sahabatnya sendiri. Apalagi ia tahu sikap sahabatnya itu, sangat mustahil untuknya bisa cemburu padanya. “Nggaklah. Rio kan sahabatku, nggak mungkinlah aku cemburu kalau kamu deket-deket sama dia. Ya udah nanti aku kenalin ke dia. Lagipula, dia juga belum tau kamu yang kayak gimana”
“Ri..Rio?”
“Iya, maksudnya Mario. Aku biasa panggil dia Rio”
Deg. Seperti ada batu besar yang menghantam Ify ketika sebuah nama disebutkan oleh Gabriel. Rio. Ya, entah mengapa perasaannya langsung tak enak. Pikirannya kembali melayang ke beberapa waktu yang lalu. Nama itu, nama yang paling tak Ify sukai semenjak hari itu. Nama orang kaya sombong yang pernah menginjak-injak harga dirinya.
“Maafin Kak Rio ya” Kata-kata perempuan cantik itu kembali terngiang ditelinga Ify. Wajah laki-laki menyebalkan itu kembali terbayang oleh Ify. Dengan sikap angkuhnya itu. Cepat-cepat Ify buang pikiran itu. Berusaha berfikir positif. Nama Rio kan banyak. Belum tentu Rio yang sama.
Tiba-tiba tangan lembut Gabriel menarik tangan Ify. Membuat Ify tersadar dari perjalanan dalam ingatannya itu. Ify terheran dan langsung menoleh kearah Gabriel, bingung kenapa tiba-tiba Gabriel menariknya bangun dan berjalan ke suatu arah. Ditatapnya Gabriel dengan penuh heran.
Yang ditatap, malah sibuk memperhatikan ke suatu arah. Seolah apa yang diperhatikannya akan hilang kalau ia berpaling sebentar. Ify mengikuti arah pandang Gabriel dan menemukan sesosok laki-laki yang memakai stelan seragam sekolah mereka. Kemeja cream dan celana coklat dan sebuah dasi. Seragam yang seharusnya bisa menyamakan derajat seseorang tapi entah mengapa aura orang itu begitu kuat sehingga sama sekali tak menutupi karakternya.
Orang itu. Jantung Ify semakin berdegup kencang. Berusaha untuk tak mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Matanya terpejam dan berdoa kalau apa yang dilihatnya hanya halusinasinya. Karena sejak tadi ia malah memikirkan wajah orang itu. Tapi saat ia buka matanya kembali, wajah orang itu tak sedikit pun berubah. Tetap menjadi wajah menyebalkan bagi Ify.
Ketika mereka sudah dekat, Ify buru-buru menundukkan kepala. Menutupi wajahnya. Sekaligus tak berani menatap laki-laki itu. Entah mengapa, ia jadi hatinya langsung ciut karena merasa aura laki-laki itu.
“Rio” Panggil Gabriel. Dan sepertinya, orang itu –orang yang bernama Rio itu- menoleh. Mengangkat sebelah alisnya saat melihat Gabriel tak sendiri. Malah sedang menuntun seorang gadis. Pemandangan yang cukup membuat Rio yakin kalau gadis itu memang gadis kemarin, pacar Gabriel yang bernama Ify.
Mereka kini sudah berdiri berhadap-hadapan. Ify bisa merasakan kalau saat ini, Rio sedang mengamati profilnya. Dari ujung kaki sampai ujung kepala selama beberapa saat lalu kembali menoleh ke Gabriel.
“Kenalkan, ini Ify, pacar gue yang gue ceritain kemarin. Dan Ify, ini Rio, sahabat aku sekaligus ketua klub anggar”
Takut-takut, Ify mengulurkan tangannya. Sama sekali tak berani mengangkat wajahnya. Ia sebenarnya enggan beramah-tamah dengan orang ini. Tapi setidaknya ini hanya untuk menghormati Gabriel sebagai pacarnya. “Ify”
“Rio” jawabnya singkat tanpa sedikit pun menyambut uluran tangan Ify. Kedua tangannya masih dibenamkan kedalam saku celananya.
Merasa kheki, Ify menarik kembali uluran tangannya. Hatinya sudah kesal. ‘Huh, sombong sekali laki-laki ini. Dasar belagu. Awas kalau nggak ada Gabriel saat ini, gue pasti udah buat perhitungan sama lo!’ Batin Ify gondok.
“Eh, Ri, katanya juga Ify mau masuk klub anggar. Kan jadi kita udah punya satu anggota” Jelas Gabriel masih dengan tenang. Tak menyadari kalau sebenarnya diantara Ify dan Rio ada hawa dingin yang tipis. Hawa dingin yang bisa saja seketika meledak panas kalau-kalau Gabriel pergi.
Sekali lagi, Ify merasakan ia kembali diamati oleh Rio. Dengan tatapan yang sama tajamnya seperti waktu pertama mereka bertemu. Ify takut kalau Rio menyadari siapa dirinya. Tapi kini ia tak terlalu peduli. Diberanikannya wajahnya diangkat. Yang tak Ify sangka, ekspresi Rio sangat datar dan sama sekali tak menunjukkan ekspresi keterkejutan melihat Ify adalah gadis yang pernah bertengkar dengannya tempo lalu.
“Ada yang salah sama aku?” Tanya Ify sebisa mungkin nadanya dibuat biasanya. Ia jujur tak nyaman ditatap seperti itu oleh Rio.
Rio berhenti mengamati profil Ify memandang lurus ke mata Ify. Tajam dan menusuk. Tapi dengan ekspresi yang masih sama datarnya seperti tadi. Kepala Rio bergerak ke kanan-kiri pelan. Sepertinya menggeleng. “Nggak. Itu hak lo mau masuk eskul mana aja” Ujarnya dengan intonasi yang masih sama angkuhnya seperti waktu itu. Rio lalu beralih dari Ify ke Gabriel. Berjalan kesisinya lalu menepuk pundaknya. “Gue ke kantin dulu ya, yel. I haven’t eat breakfast in this morning
Gabriel tersenyum miring pada Rio yang sudah berjalan mendahuluinya kesisinya. “Pertandingan tadi emang menguras tenaga yo. Dan gue akui, lo memang sangat unggul dari gue”
“That’s very exciting game, yel. Thank you for give me your best perform” bisiknya lalu berlalu meninggalkan Gabriel dan Ify.
Kemudian, Gabriel menoleh kea rah pacarnya yang berdiri disampingnya. Yang menatap lurus kedepan. Kosong dan hampa. Gabriel menghela nafas lalu meremas lembut jari- jemari Ify yang saling terpaut dengan jari-jemari miliknya. Seperti memberi sebuah isyarat dari gerakan itu.
“Rio… emang sifatnya begitu. Karena itu, dugaan kamu salah kalau aku bakal cemburu sama dia kalau kamu deket deket sama dia. Kamu lihat sendiri gimana dingin sifatnya” Gumamnya pelan pada Ify.
Ify membenarkan pernyataan itu dalam hati.
“Tapi Rio baik kok. Jadi kamu jangan langsung men-judge dia itu buruk dulu karena kau belum benar-benar mengenalnya” Tambah Gabriel lagi.
Tidak. Gabriel sama sekali tak tahu bagaimana Rio pernah mempermalukannya didepan umum. Sebuah kejadian yang membuat Ify sudah tak menyukai sifatnya. Bahkan membencinya. Tapi Ify sama sekali tak berniat memberi tahu Gabriel. Biarlah, hanya dia, Rio dan Tuhan saja yang tahu itu. Sebenci dan tak sesuka apapun Ify pada salah satu sahabat Gabriel itu, ia tak mau persahabatan mereka hancur. Lagipula sepertinya Rio juga sama sekali tak ambil peduli dengan kejadian itu. berarti ia sama sekali tak mau mengungkit masalah itu didepan Gabriel. Kalau begitu ia juga akan melakukan hal yang sama.
Tapi melakukan hal yang sama bukan berarti melupakan kejadian itu bagi Ify. Ify hanya mencoba memberi kesempatan pada Rio. Mungkin saja mereka memang bisa berteman. Atau setidaknya, hawa diantara mereka bisa sedikit menghangat. Yah, hubungan antara sahabat pacarnya. Bukan sebagai rival atau musuh.
---- * --- * --- * ----
Sebuah mobil Porsche berhenti terparkir indah di garasi yang lebih mirip seperti show room mobil-mobil mewah yang kebanyakan buatan Eropa itu. Seorang laki-laki keluar dari mobil mewah itu. Masih berstelan seragam SMA yang melekat ditubuhnya tak karuan. Kemejanya sudah keluar dari celananya, dan dasi sudah tak terpasang lagi di kerahnya. Hanya dengan sekali sentuhan pada tombol remote key, pintu mobil itu otomatis terkunci.
Ia pun melangkahkan kakinya menuju ke tangga yang menghubungkan garasi yang letaknya dibawah tanah itu dengan rumah utama. Tapi langkah kakinya terhenti begitu melihat siapa yang tengah berdiri di daun pintu, melipat kedua tangannya di dadanya. Tersenyum begitu mengetahui Rio sudah menyadari keberadaannya yang berdiri cukup lama disana. Ketika mobil baru saja masuk.
“Hai, kak” Sapanya manis, sebuah senyum menyertainya membuat disebuah lesung terhias dipipinya. Menambah kecantikan gadis yang memang sudah cantik itu yang dibalut dengan sebuah sundress sederhana yang manis.
Rio tak lekas menjawab, ia malah melanjutkan langkahnya menaiki setiap anak tangga. “Mau ngapain kamu? Kenapa ada disini?” Tanyanya dingin. Seperti biasa. Berjalan begitu saja melewati gadis itu. Gadis itu hanya bisa menghela nafas letih sambil mengikuti langkah laki-laki yang lebih tua setahun darinya itu masuk ke dalam rumah utama.
Diikutinya duduk di sebuah sofa diruangan itu setelah Rio sebelumnya juga sudah menghempaskan tubuhnya di sofa nyaman itu. “Memangnya aku perlu punya alasan untuk datang kesini? I just wanna spend my time with you, is it wrong?” Ia malah balik bertanya.
Dari ekor matanya, Rio melirik gadis yang duduk disampingnya itu. Yang tengah menunggu jawaban dari Rio. Rio menggeleng. “Nggak. Nggak salah. Rumah ini kan sudah seperti rumah kamu juga. Aku nggak ngelarang, kamu boleh datang kapanpun kamu mau” Jawabnya lugas namun masih bernada datar.
Kepalanya di senderkan ke sandaran kursi dan memejamkan matanya sejenak. Tangannya memijak-mijat pangkal hidungnya. Dimata gadis itu, Rio terlihat sangat lelah hari ini. Agak kesal dengan penyakit insomnia yang diidapnya belakangan ini.
“Aku kangen sama kakak. Aku khawatir pas kakak hilang begitu aja dari Jakarta dan baru sekarang aku bisa dateng kesini” Ujarnya membuka pembicaraan.
Belum sempat Rio merespon, seorang pelayan rumahnya datang menghampiri mereka dengan membawa nampan yang diatasnya ada dua buah gelas berisi orange juice dingin. Yang Nampak sangat menggiurkan dihari yang panas ini –walau diruangan itu sama sekali tak panas karena sudah dipasang tiga buah AC-. Kedua gelas itu lalu dipindahkan dari nampan ke atas meja kaca dihadapan mereka.
Lalu agak membungkuk pada sang ‘majikan’ dan gadis itu. Nampan bundar itu didekap didadanya.
“Minum dulu, Tuan. Tuan Muda Nampak lelah sekali, butuh saya ambilkan sesuatu?” Ujar pelayan itu. Rio menggeleng lalu pelayan itu pun permisi untuk kembali ke tempatnya.
Setelah pelayan itu pergi, gadis itu mengambil segelas orange juice itu dan menyodorkannya pada Rio. Tapi sama sekali tak diindahkan oleh Rio sedikit pun. “I think you must drink a little to fresh your mind”.
Mau tak mau Rio pun menerima gelas itu dan menengguk sedikit isi dalam gelas itu. Kemudian menyerahkannya kembali pada gadis itu. Gadis itu kembali meletakkan gelas itu ke atas meja. Tempatnya semula.
Gadis itu kembali menoleh kearah Rio. menatapnya mata hitam bening Rio yang telah kehilangan cahayanya. “How about your school today? Is something exciting to tell me?” Tanya penuh kepedulian dengan sebuah senyum terkembang diwajahnya. Senyum yang seharusnya bisa membuat setiap laki-laki terpesona tapi tidak untuk laki-laki disampingnya ini. Pertanyaan yang bukan hanya untuk sekedar berbasa-basi. Lebih bertujuan untuk membunuh keheningan yang mengerikan diantara mereka.
Ia tak pernah suka keheningan itu. Terkadang, setiap ia menatap wajah Rio, ia sangat berharap bisa menemukan ekspresi tawa, senyum atau keceriaan diwajah tampan itu. tapi semakin ia berharap, ia akan semakin kecewa. Karena ia tak akan pernah menemukan ekspresi itu. Hanya ada ekspresi dingin, datar, cuek, acuh tak acuh yang dimiliki Rio. Yang sudah menjadi sebuah karakter yang membentuk seorang Mario Stevano.
Laki-laki itu menggeleng. “Sekolah biasa aja. Nothing important to talk about it” Jawabnya singkat. Yang hanya disambut oleh hembusan nafas dari gadis itu. Satu hal lagi yang ia harapkan. Seandainya Rio bisa menjadi sosok yang terbuka. Bukan sosok tertutup yang selalu menyimpan ceritanya sendiri.
Gadis itu mengubah posisinya agak lebih berhadapan dengan laki-laki itu. “Do you have some schedule in Night Sunday next week?” Akhirnya gadis itu pun menyatakan langsung maksud kedatangannya kesini. Rio menggeleng. Gadis itu pun melanjutkannya. “Angel invites me to join her party. Would you accompany me?”
“Angel yang mana lagi?” Bukannya malah menjawab. Rio balik bertanya.
“Teman lama dan juga partner aku dulu. Dia merayakan pesta ulang tahun dan aku juga diundang. Nggak enak dong kalau nggak dateng. Nanti dia kira aku sombong setelah aku berhenti jadi public figure” Jelasnya lagi. Nadanya terdengar sangat memelas berharap agar Rio mau menemaninya.
Rio melengos. “Aku menolak pasti kamu nggak mau datang. Yah, mau bagaimana lagi. Minggu depan kan?”
Gadis itu mengangguk senang. Walau Rio berkata seolah hatinya sama sekali tak ikhlas untuk mengiyakan. Sebuah senyum lebar kembali terkembang di wajah manis itu, menampilkan sederet gigi putih dan rapi miliknya. “Kakak tahu aja”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar