Jumat, 15 Maret 2013

Message in A bottle


Message in a bottle BY :Janna N. Malcom
Penerbit : Pt Gramedia pustaka utama


Kanan ke kiri. Kiri ke kanan. Lipat ke atas dan....”
Dengan rapi Ify Finnegan menaruh serbet di atas meja restoran, lalu merentangkan lenganya lebar-lebar. “Voila perahu layar!”
Prang!
Lenganya menyenggol gelas kristal di meja sebelah. Gelas itu jatuh dan pecah menjadi ratusan keping di atas lantai kayu. Pelayan berumur 17 tahun itu memicingkan mata rapat-rapat menunggu atasanya Mr. Duta, muncul dan berteriak, “Kau dipecat!”
Tapi Ify beruntung karena Mr. Duta tidak ada masih setengah jam lagi restoran buka.
Satu-satunya yang terdengar di ruang makan klub kapal layar itu hanya bunyi pintu ayun yang menuju dapur.
“Cepat sembunyikan,” bisik sebuah suara lembut.
“sembunyikan semua pecahan gelas itu atau kau terpaksa bekerja sepanjang musim panas untuk membayar kerugianya.”
Mata biru Ify terbuka. Nasihat itu datang dari temanya sesama pelayan, Sivia Ramirez. Wajah Sivia tegang. Orang bisa saja menyangka ia yang memecahkan gelas, bukan Ify.
“Memecahkan gelas di hari pertama kau bekerja? Yaampun! Ini pertanda buruk. Sangat buruk,” erang Sivia sambil meremas celemek lalu menoleh ke belakang lewat bahunya, khawatir atasan mereka ada di sana.
Ify pun cemas sama seperti Sivia, tapi ia tidak memperlihatkanya karena bisa bikin keadaan semakin parah. “Jangan panik,” Ify berusaha bicara setenang mungkin. “Masalah kayak begini biasa terjadi di restoran.”
“Di tempat murahan kayak Oyster Bob’s atau Seaside Cafe mungkin memang biasa,” desis Sivia. “Tapi tidak di Land’s End.”
Land’s End adalah klub kapal layar termewah di Maponsett, Long Island.  Klub itu terletak di teluk pribadi tepi laut dengan bangunan yang terbuat dari kayu abu-abu. Restoran itu sendiri berada di tengah tengah kompleks, menghadap kolam renang dan lautan atlantik yang indah.
“Aku ambil tempat sampah dulu,” Kata ify sambil bergegas ke bilik perkakas di lorong dekat kamar mandi. “Kaunyalakn saja lilin-lilinya.”
“Nggak mau!” Sivia meratap. “Biar aku yang ambil sapu. Kau saja yang menyalakan lilin. Aku terlalu gugup.”
Ify mengumpulkan serpihan gelas dengan sepatunya sambil mencari cari kotak korek api di saku celemek. Tanganya gemetar ketika menyalakan lentera berbentuk kapal antik di salah satu meja.
“Sivia! Aku ketularan penyakit gemetaran mu nih,” teriaknya sambil menoleh. “Lihat keningku-berkeringat.”
Ify berjinjit untuk melihat bayangannya di kaca salah satu foto berbingkai yang berjejer di dinding berlapis kayu. Rambut pirangnya yang model shaggy menempel di kulit kepala. “lihat rambutku. Basah kuyup.” Ify menyisir rambutnya yang sebahu dengan jarinya dan buru-buru menghapus maskara yang menodai bagian bawah matanya yang biru dan lebar. Lalu diambilnya lipstik summer kiss di kantong celemeknya.
“Berhenti mengagumi diri sendiri kayak begitu. Lebih baik bantu aku menyapu,” seru Sivia yang kembali dengan sapu dan tempat sampah. “Mr. Duta bisa muncul kapan saja.”

“Sivia, ambil napas,”
 kata Ify sambil memulas bibirnya dengan lipstik merah muda yang lembut.
“Jangan terlalu serius. Ini kan hanya perkejaan biasa.”
“Sekarang kaubilang begitu,” kata sivia, melirik gugup ke arah pintu dapur yang berjendela bulat kecil. “Padahal januari lalu katamu kita harus berkerja di Land’s End musim panas ini atau hidupmu nggak berarti.”
“Itu karena aku sudah nggak tahan jadi tukang es krim di gubuk kecil panas di Poter’s Park.”
Ify mengambil sapu dari tangan temanya dan mulai menyapukan sisa pecahan gelas kristal itu ke tempat sampah. “Harus kuakui ini pekerjaan musim paans yang paling dicari-cari di Maponsett.”
Itu benar. Setiap musim semi anak-anak sekolah menengah setempat dan mahasiswa dari seluruh penjuru Long Island bersaing sengit untuk mendapatkan kesempatan menjadi pelayan di Land’s End. Tip yang mereka peroleh dalam seminggu lebih banyak daripada penghasilan Ify atau Sivia sebagi tukang es kirm di Sugar shack selam satu bulan.
“Land’s End adalah tempat berkumpulnnya orang –orang elite New York,” tambah Ify. “Wajar dong kalau kita kepingin banget kerja di sini.” Ia mengangkat tempat sampah penuh pecahan gelas melewati dapur ke ruang kecil tempat loker pegawai. Sivia mengikutinya samil melihat-lihat sekeliling mengintai keberadaan Mr. Duta dan pelayan lain.
“Kita beruntung bisa sama-sama di terima bekerja di sini,” bisik Sivia. “Nah, pada hari pertama, kita juga sama-sama terancam kena pecat.”
“Jangan sampai deh,” kta Ify sambil membuka loker dan mengambil ranselnya. “Aku harus banyak menabung supaya bisa membiayai sekolah seni. Dan aku kepingin kenalan dengan banyak orang. Banyak artis terkenal yang datang ke land’s End. Dan... aku berharap akan jatuh cinta sebelum musim panas berakhir.”
Mata Sivia mengerjap, terkejut.” Mimpi yang besar untuk pekerjaan seperti ini.”
Ify mengangkat bahu. “Kita kan harus punya cita-cita setinggi langit.”
“Kau benar,” kata Sivia sambil merapikan rambut hitam tebalnay yang di kuncir kuda.
Ify membuka ransel dan membuang pecahan gelas tadi ke dalamnya. Setelah itu ia menutup ristleting dan menaruhnya lagi ke loker. “Ramalan bintangku bilang bulan ini akan terjadi kaejaiban untuk aries. Aku bisa mendapatkan apa pun yang kumau kalu serius.”
“Kalau libra?” tanya Sivia. “Bulan ini Bakal kayak apa?”
“Bulan yang sangat sukses kalau kau selalu dekat-dekat aku,” kata Ify, smabil memberi Sivia pelukan kilat. “Ingat untuk selalu tersenyum. Para pelanggan menyukai pelayan ceria.”
“Aku suka tersenyum,” Protes Sivia sambil mengerutkan dahi.
“kau suka khawatir,” koreksi Ify. “Itu bikin mukamu jutek.”
“Banyak yang harus kita khawatirkan,” bisik Sivia ketika melewati Angel pieters dan Ray prasetya yang sedang bercakap-cakap dengan kepala juru masak, Gabriel damanik. “Bahkan Angel dan ray saja khawatir padahal kan mereka sudah bekerja di sini tahun lalu.”
Kedua cewek itu masuk kembali ke ruang restoran yang berdinding mahoni lewat pintu ayun dapur.
Ify melambaikan tangan ke seputar ruangan yang luas, berhati-hati supaya tidak memecahkan gelas lagi. “Nah, sekarang kita berada di istana ini, menunggu pesta dansa di mulai.”
“Hanya saja di pesta dansa ini kita nggak akan berdansa,” kata Sivia. “Kita akan menghidangkan minuman dan berlari kesana kemari.”
“Penampilanku bagaimana?” tanya Ify sambil mencabut benang dari celana panjang hitam yang di kenakanya dan melicinkan tuksedo putihnya yang kaku.
“Sama sepertiku,” jawab Sivia sambil menunjuk seragam putih-hitam yang ia kenakan. “Hanya saja lebih pendek.”
“Jauh lebih pendek,” erang Ify. Meskipun berjinjit tingginya tidak sampai sedagu Sivia. Dengan tinggi yang 180 sentimeter, Sivia jauh lebih tinggi daripada kebanyakan cewek SMU Maponsett. Tubuh yang tinggi dan berotot seperti itu menjadikannya pemain utama tim bola basket Maponsett Mariners.
“Kayaknya kita sudah siap,” kata Sivia ketika kedua cewek itu memeriksa kembali hasil pekerjaan mereka. Semua meja sudah rapi dan lilin-lilin sudah menyala. Serbet putih yang telah dilipat dan dihiasi kapal mungil yang berlayar di bawah sinar bulan.
“Uuuups.” Sivia menunjuk meja bundar di ujung ruangan. “Kapal meja dua belas akan tenggelam.”
Ify melihat serbet yang dilipatnya beberapa menit lalu perlahan-lahan jatuh menimpa garpu dan pisau. “Bukan akan tenggelam,” tawa Ify meledak. “Tapi sudah.”
“Rapikan,” Sivia mengingatkan. “Cepat!”
Ify memberi hormat. “Segera,  kapten.” Ia merapikan serbet di meja dua belas, kemudian menunjuk pintu masuk dengan jempolnya. “Dua kapalmu tenggelam di meja tiga dan empat.”
“Ya ampun!” Sivia tersentak dan cepat cepat merapikan serbet yang tadi dilipatnya. “Untung Mr. Duta tidak lihat,” gumamnya.  “Jangan sampai deh.”
“Orang itu kayak pesulap, ya,” kata Ify dengan suara rendah. “Suka tiba-tiba muncul pada saat yang tidak tepat.”
Sivia, yang menghadap pintu prancis lebar yang mengarah ke kolam renang, tiba-tiba memasang senyum. “Seperti sekarang.”
“Hah?” Ify melihat pintu dapur dan pintu masuk. “Mana?”
“Di belakangmu,”  jawab Sivia dengan gigi terkatup. “Cepat pura-pura sibuk.”
Ify berbalik untuk melihat supervisor yang mengenakan jas biru dan celana katun. Ia lebih mirip kapten kapal pesiar daripada kepala staf restoran.
“Bagaimana kalau kalian istirahat dulu sepuluh menit?” Kata Mr. Duta berdiri seperti petugas upacara dalam posisi istirahat. “Aku bisa bayangkan betapa sibuknya kalian begitu restoran buka malam ini.”
“Terima kasih, Mr. Duta,” kata Ify yang tiba-tiba kepingin membungkuk memberi hormat. “kami akan istirahat dulu.”
Mr. Duta melangkah ke dapur, sepatunya menginjak sesuatu hingga berbunyi gemertak. Ify mengernyit. Dia tahu betul bunyi apa itu.
Mr. Duta mengangkat kaki. Ia melihat serpihan gelas yang berkilau di timpa cahaya lilin. “Dari mana ini?” tanya Mr. Duta yang hati-hati mengambil serpihan itu dari sol sepatu dan memeriksanya.
Ify menyilangkan jemari di belakang punggung. “Saya tidak tahu, Mr. Duta,” katanya dengan tampang tak berdosa.
Sivia melompat kedepan. “Anda mau saya membuangnya, Mr. Duta?”
Mr. Duta menatap Sivia dingin dengan sebelah mata birunya. “Tidak, terima kasih, Miss Ramirez. Akan ku buang sendiri.”
Ify melingkarkan lenganya di siku Sivia dan menarik cewek itu ke pintu yang mengarah ke luar. “Terima kasih, Mr. Duta. Sampai ketemu sepuluh menit lagi.”
Begitu menginjak udara luar kedua cewek itu berbelok dan melangkah lurus ke arah jalan setapak, menuju pantai pribadi klub. Ketika sampai di pantai pasir lautan Atlantik, mereka cekikikan.
“Hampir saja!” Ify terengah-engah
“Menurutmu pecahan gelas itu bakal dia apakan, ya?” Sivia berpikir-pikir.
“Ditaburi serbuk untuk memeriksa sidik jari,” Jawab Ify. “Setelah itu dia akan mengirimnya ke acara America’s Most Wanted.” Kata-kata Ify itu membuat tawa mereka meledak lagi.
Sivia menyeka air matanya karena terlalu banyak tertawa, kemudian menggeleng. “Aku nggak tahu bagaimana caranya kita berhasil melewatkan malam ini.”
“Jangan khawatir.” Ify menghirup udara laut yang segar dalam-dalam. “Semua akan berjalan sempurna. Aku bisa merasakanya!”
Ia melihat ke arah Sandy Cliffs di barat. Di sana ada lima belas rumah besar memenuhi Benson’s Boy sepanjang tiga mil.
“Itu dia!” Ify menunjuk rumah papan model Amerika warna abu-abu yang dikelilingi serambi luas dan menara kecil di setiap sudut. Rumah itu jaraknya paling jauh dari klub kapal pesiar. “Rumah impianku. Grey Gables.”
“Aku suka rumah dengan pilar-pilar itu,” kata Sivia sambil menatap bangunan di sebelah rumah impian Ify. “Montclair. Katanya rumah itu memiliki dua ruangan sayap untuk tamu dan juga pondok tamu yang besarnya dua kali rumahku.”
Ify mengernyitkan hidungnya yang mencuat. “Terlalu besar. Aku lebih suka rumah nyaman kayak Grey Gables. Kau lihat menara kecil itu? Yang jendelanya terbuka? Aku akan memakainya untuk studio seniku.”
Ify membayangkan dirinya sedang melukis menggunakan kayu penyangga di ruang menara itu. Dengan pemandangan laut terbentang di hadapanya ia pasti akan selalu terinspirasi oleh ombak putih, langit yang selalu berubah, dan jeritan camar yang menggema di jendela menara.
“Menutmu, hidup kita bakalan kayak gimana ya kalau tinggal di salah satu rumah itu?” tanya Sivia.
“Yah, kita nggak bakal menginjakan kaki lagi di lorong SMU Maponsett,” jawab Ify. “Kita akan sekolah di sekolah swasta seperti dalton di Manhattan, dan tinggal di penthouse keren yang menghadap Central Park.”
“Dan hanya berbelanja di Barneys dan Ralph Lauren?”
“Tentu saja,” Kata Ify sambil berjalan di sepanjang tepi laut. “Setiap musim panas kita akan naik Hamton Jitney dan bergaul dengan penduduk lokal Maponsett.”’
“Penduduk kota.” Kata Sivia, menunduk dengan sikap rendah hati. “Para nelayan, pemilik toko, dan pengantar surat.”
“Yang selalu di kelilingi kabut.” Kata Ify sambil cekikikan.
“Kabut yang nggak habis-habis,” erang Sivia. Kadang kadang kota kecil tampat meraka tinggal itudi selimuti kabut tebal yang bergulung dari Atlantik selama barhari-hari. Kabut itu sangat memesona para pendatang tapi sebaliknya, bagi penduduk lokal hal itu sangat mengganggu.
“Pada akhir pekan kita naik jag beratap terbuka,”
Ify terus berkhayal, “Dan makan kue dadar gandum di Gurney’s Inn Montauk. Terus kita ke East Hampton selama satu atau dua jam untuk melihat-lihat barang antik di The Oaken Bucket.”
“Memangnya kita nggak kerja? Tanya Sivia.
“Iiiiih!” Ify mengangkat hidungnya di udara.
“Nggak perlu.”
“Kayak mimpi,” Kata Sivia, menghela napas.
“Mungkin saja terjadi,” kata Ify, suaranya bernada misterius. “Mimpi bisa menjadi kenyataan.”
Tiba-tiba ujung sepatunya membentur sesuatu. Ify lupa laut sudah mulai pasng. Ia cepat melompat mundur supaya sepatu barunya tidak basah.
Tapi ia kembali membentur sesuatu. Ify melihat kebawah, kemudian menghela napas. “Orang sering buang sampah sembarangan ke pantai. Bahkan di Land’s End sekalipun.” Ia membungkuk dan menarik botol anggur hijau tua dari balik ombak yang berbuih. Label namanya sudah hilang. Tapi sumbat botol masih terpasang. Ify melihat sekeliling dan menemukan tempat sampah terdekat di samping jalan setapak. “Ayo,” Katanya. “Kita buang botol ini dan kembali ke restoran.”
Sivia mencengkram pinggang Ify ketika temanya itu hendak beranjak pergi. “Tunggu.  Ada sesuatu di dalamnya.”
“Ah, paling-paling sisa anggur,” jawab Ify.
“Bukan, fy,” kata Sivia. “kayaknya kertas.”
Ify pun mengankat botol itu ke bawah cahaya lampu. “Kau benar. Kita lihat apa isinya.” Ify berusaha mencabut sumbat botol, tapi gabus itu tidak bergerak.
“Nih.” Sivia mengambil pembuka botol dari kantong celemeknya. “Pakai ini.”
Pembuka botol adalah alat standar yang harus dibawa pelayan. Logo LAND’S END tercetak timbul dengan huruf emas di salah satu sisinya. Dengan sekali sentak Ify menarik sumbat botol yang basah kuyup. Kemudian diguncang-guncangnya botol itu supaya gulungan kertas di dalamnya keluar.
“Ya tuhan!” gumam Ify sambil membuka gulungan kertas.
“Apa? Apa itu?” desak Sivia.
Ify tersenyum. “Surat.”
“Jangan diam saja dong,” kata Sivia tidak sabar.
“Cepat baca!”





                                                                                                      DUA



Selamat!
Kau telah terpilih menjadi temanku.  Jangan khawatir. Kau nggak  mesti  melakukan  apa  pun kok, kau  Cuma harus  membalas  suratku.  Umurku sembilan tahun.  Aku  mengirim surat ini dari Gull  Rock di Briney Beach, tempat  yang  paling kusukai  di seluruh dunia.  Tapi aku nggak akan lama di sini.  Aku harus pergi.  Selamanya.  Ini membuatku sedih.
Kalau  kau mau  jadi  temanku,  tolong kirim surat padaku ke:
The browing school
52 East 62nd street  
New york, Ny 10021

Salam hormat,
R.R stuyvesant  III

MANIS banget!” kata sivia ketika Ify selesai membacakan surat. “Kau akan membalas suratnya?”
“Harus.” Jawab Ify. Ia membayangkan seorang anak cowok malang duduk sendirian di Gull Rock, menulis surat dan memasukkanya ke botol kemudian membuangnya ke laut dengan harapan ada yang bakal menemukan dan membalas suratnya.”
Sivia mengambil surat dari tangan Ify dan mempelajari tulisan tangan anak itu. “R.R singkatan dari apa, ya?”
Ify mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu smbil berpikir. “Rald Robert? Rock Randall?”
Ify menjentikan jari. “Aku tahu, Ronald McRonald.”
“Nona-nona!” suara serak wanita menginterupsi mereka. Ternyata Mrs. Winda, resepsionis yang bertugas di restoran kolam renang klub kapal pesiar, wakil Mr. Duta. “Kalau kalian kepingin tetap bekerja di Land’s End, sebaiknya kembali sekarang juga. Tamu-tamu akan berdatangan sebentar lagi.”
“Baik, Mrs. Winda,” teriak mereka serempak.
“Oke sivia, waktunya tiba.” Ify menyimpan surat di kantongnya dan mengangkat botol anggur hijau tua itu, bersulang dengan gaya bercanda. “Untuk cinta, gelak tawa, dan tip yang banyak!”

Tamu pertama pasangan-pasangan setengah baya. Sepertinya mereka baru kembali dari berlayar di Long Island sound. Mereka duduk di meja dekat kolam renang. Setelah itu Ify dan Sivia mondar-mandir dari meja ke dapur, melayani setiap pesanan dengan sigap.
Satu jam sebelum shift malam, tiba-tiba sekelompok remaja masuk ke restoran.
“Ada apa ini-memangnya ada sekolah yang pulang cepat?” tanya Ify sambil bergegas mengisi gelas-gelas di salah satu meja.
Sivia berlari membantunya. “The Hampton Jitney pasti baru datang dari Manhattan.”
The Jitney adalah bus khusus yang membawa orang-orang yang sedang liburan akhir pekan dari  New York ke beberapa kota di Long Island.
         Dengan gugup Ify menoleh ke-arah gerombolan yang saling menyapa ramai dan mengambil tampat di setiap sudut ruangan itu. Ia mempertimbangkan situasi dengan cepat, kemudian berkata kepada Mrs. Winda, “Aku akan mengurus meja empat, lima, dan enam.”
           Mrs Winda mengangguk, setelah itu menoleh kepada Sivia dan memberi perintah, “Kau layani meja sebelas dan tigabelas. Yang lain biar kusuruh Angel dan Ray untuk mengurus.”
“Baik.” Sivia berkonsentrasi penuh sehingga muncul dua kerutan di keningnya. Tampangnya jutek.
“Sivia ingat-senyum!” kata Ify mengambil membagi sepuluh buku menu untuk mereka masing-masing kemudian mengangkat nampan. “Dan kalau butuh bantuan, tembakkan flare!”
         Ify mengawasi Sivia bergegas ke meja pertama yang harus ia layani. Kemudian Ify berbalik untuk mengurus mejanya sendiri. Tiba-tiba lututnya bagai terkunci. Ia biasa melayani anak-anak kecil dan para orang tua yang memesan es krim. Tapi ia belum pernah melayani orang-orang seusianya-terutma ABG jetset dari Manhattan. Ify tak yakin bagaimana harus bersikap.
“Jangan khawatir. Mereka nggak bakal menggigit,” gumam suara dari belakangnya. “Yah, paling-paling cowok menyebalkan yang duduk dekat jendela itu, tapi nggak sakit kok.”
      Ketika Ify berbalik untuk melihat pemilik suara berat itu, ia nyaris menjatuhkan baki yang penuh gelas. “Ohhh!” Ify tersentak.
     Seorang cowok tinggi berjas biru dan berdasi merah garis-garis miring menangkap unjung baki.
Ify tak sanggup berkata-kata. Cowok itu kayak bintang film: rambut pirang pudar karena kelewat sering terpapar sinar matahari, gigi putih sempurna, senyum manis, dan cokelat. Ia menatap Ify dengan mata yang cokelat gemerlap. “Hampir saja.”
“Kau nggak tahu seberapa hampirnya,” aku Ify. “Ranselku sudah penuh pecahan gelas. Kalau baki ini sampai terjatuh juga, berarti pecahan gelasnya harus kusimpan di bagasi mobil.”
    Cowok itu mengerjap bingung beberapa kali.  “Maaf, aku nggak mengerti cerita ransel yang penuh pecahan gelas itu.”
Mata biru Ify terbelalak. “Aku nggak tahu kenapa aku menceritakanya. Mungkin karena rambutmu.” Ia mengernyit. “Maksudku, senyummu. Maksudku, seragam sekolahmu. “Ify memejamkan matanya dan mengerang. “Tembak saja aku sekarang.”
    Cowok itu tertawa. Suara tawanya yang berat dan serak membuat Ify merasa nyaman. Ia mengambil baki dari tangan Ify dan berkata, “Ambil napas dalam-dalam dan biarkan aku yang membawa baki ini ke meja.”
    Ify ragu-ragu, tak yakin apa yang harus ia lakukan. “Oke,” kata Ify, mengangkat bahu dengan malu. “Tapi sebenarnya nggak perlu lho.”
   Ia mengambil menu dengan sebelah tangan dan mengepitnya, kemudian berdiri kaku dengan sikap seperti prajurit. “Kemana , Bos?”
   Ify nggak bisa menahan tawa. “Oke. Ikuti aku,” katanya.  “Tapi kalau kau jatuhkan baki itu, kau harus menghadapi amukan Mr. Duta. Kuharap itu nggak tejadi pada siapapun.”
   Cowok itu nyengir. “Aku akan hati-hati.”
   Di meja pertama ia membagikan gelas minum, kemudian memberi pengumuman, “Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, pelayan anda malam ini adalah”-ia mengintip label nama Ify-“Ify Finnegan. Perlakukan miss Finnegan dengan baik atau kau harus menghadapiku.”
   “Aw, dia manis ya?” kata salah satu cewek di meja itu dengan kilatan di matanya. “Jangan khawatir, kami akan bersikap baik.”
   Ify berdiri canggung sementara cowok super tampan itu membagi-bagi menu. Dengan bercanda ia menyikut Ify dan pindah ke maja lain. Di sana ia membagikan lebih banyak lagi gelas dan menu. Kemudian ia duduk di sebelah gadis berambut cokelat kemerahan dengan kuku di cat merah mengilat.
   Ify cepat-cepat mencatat pesanan minum semua orang di meja itu dan bergegas kembali ke dapur. Ia nggak sabar memberitahu Sivia apa yang baru saja terjadi.
   Begitu pintu ayun tertutup di belakangnya, Ify  menjerit, “Itu dia. Itu dia!” Ify melompat-lompat kayak anak enam tahun saking girangnya.
   Cakka Karpinski, tukang bersih-bersih hebat dan juga sahabat Ify sejak kelas sembilan, menaruh tumpukan piring kosong di samping bak  cuci kemudian bertanya, “Dia siapa?”
   “Cinta sejatiku. Cowok impianku,” jawab Ify.
“Wow banget! Aku bertemu denganya pada hari pertama bekerja di sini.”
   Yang membuat Ify terkejut, Sivia mengerutkan dahi mendengar berita itu. “Siapa namanya?”
Tanya Sivia, cepat-cepat menghampiri pintu dapur dan mengintip dari balik jendela intip.
   Ify ikut mengintip sambil berjinjit. “Aku belum tahu. Itu, cowok pirang cakep yang duduk di dekat jendela.”
   Sivia menarik napas lega. “Baguslah.”
  “Apa maksudmu?”
 “Kaulihat cowok berambut gelap di seberangnya yang lagi ketawa?”
  Ify mengangguk . “Ya?”
  “Namanya Alvin.” Sivia nyengir ke arah Ify.
  “Cowok impianku.”
  “Mati aku, Scotty!” Cakka yang berdiri di dekat bak cuci mengerang. “Aku berada di surga cowok impian!”
   Ify melangkah pelan ke arah Cakka. Ia menyatukan kedua tangan dan memohon, “Tolong dong, Cakka. Bantu aku?”
   Cakka mengibaskan handuk pengering ke arah Ify. “Pergi sana. Aku nggak suka caramu menatapku.”
   “Tapi kka, aku butuh bantuanmu. Aku kepingin tahu nama cowok itu,” Ify mengiba-iba.
   “Tanya saja padanya.”
Ify tersentak ngeri. “Nggak mau.”
   “Kenapa?” tanya cakka.
   “Nanti dia  pikir aku suka padanya,” Ify menjelaskan.
   “Lho, memengnya kenapa?”
Dengan putus asa Ify menyisir rambut pirangnya yang shaggy dengan jemari. “Kalau dia pikir aku menyukainya, nanti dia nggak bakal suka padaku.”
   “Kata siapa?” Cakka bersikeras.
    “Kata semua orang,” jawab Sivia bergegas mengambil pesananya dari meja baja tahan karat yang memisahkan  bagian dapur  tempat para pelayan dengan Chef  Gabriel. “Cewek kan harus jual mahal.”
   “Memangnya ini tahun lima puluhan?” gumam Cakka.
 Ify menarik bagian belakang kemeja Cakka.
   “Ayolah Kka. Bersikap baik dong.”
Cakka melempar buih sabun ke arah Ify. “Enak saja. Kerjakan sendiri.”
Ify memegangi pintu untuk Sivia sambil membawa keluar pesananya sendiri. “Ada cewek super seksi duduk di sebelahnya di meja lima.” Kata Ify dengan suara keras, berusaha memikat Cakka supaya mau membantunya.
Jawaban Cakka hanyalah, “Mungkin cewek itu pacarnya.”
Senyuman menghilang dari wajah Ify. “Mungkin kau benar. Wah gawat!”
Sivia mendorong Ify yang terhuyung melewati pintu ayun, masuk restoran. Cowok misterius itu melihat Ify kehiangan keseimbangan, kemudian menggeleng sambil tertawa kecil.
   “Gerakan yang indah,” cowok itu terbahak ketika Ify sampai di mejanya.
Cewek berambut cokelat kemerahan dengan kuku dicat itu menamparnya main-main. “Nggak pantas kau ngomong kayak begitu kepada pelayan.”
   “Aku dan Ify teman lama,” jawab cowok itu sambil mengedipkan mata kepada Ify. “Dia tahu aku hanya bercanda.”
  Ify berkeling mencatat pesanan mereka satu per  satu. Mereka memesan kue kepiting dan kerang kukus segar, kecuali, tentu saja, cewek kurus berambut cokelat kemerahan yang tegas hanya memesan Caesar Salad.  Ketika mereka bercanda, Ify berhasil mendapatkan nama semua yang duduk di situ kecuali cowok impianya.
  Alvin, cowok yang di taksir Sivia, paling suka melucu. Cewek pucat berambut hitam dan berkacamata yang di panggil agni tampaknya sepupu cewek keren berambut cokelat gelap. Cewek berambut cokelat kemarahan itu bernama Ashilla, dan menurut Ify nama itu sangat cocok untuk-nya.
  Cowok pirang yang mudah tersenyumitu bersikap sangat tenang. Tanganya tersampir di sandaran kursi kulit, tampak santai dan percaya diri. Kebanyakan cewek-cewek itu kelihatanya menyukainya karena mereka terus memandang kerah nya. Bahkan para cowok pun berebut perhatianya, misalnya dengan menunjukan cerita atau kelakar padanya lebih sering daripada kepada yang lain.
Mrs. Winda, yang malam itu memakai setelan celana merah tua dan blus putih berjumbai, berjaga di dapur ketika Ify masuk untuk menaruh pesanan.
   “Malam pertama! Menyenangkan, ya?” kata Mrs. Winda sambil tersenyum dan mengangguk ketika juru masak menaruh wajah-wajah akrab di luar sana. “Anak bernama Alvin jonathan itu sudah dewasa sekarang.”
   “Anda kenal dia?” tanya Sivia, berusaha bersikap acuh tak acuh.
    “Kenal dong. Keluarganya selalu datang ke sini setiap musim panas. Sebentar, Angel!” ia berhenti sejenak untuk menyusun kembali hiasan di piring ikan panggang yang akan diantar Angel ke meja tamu. “Nah, itu lebih baik. Pergilah.”
   Mrs. Winda meneruskan, “Keluarganya Alvin tidak memiliki rumah di sini, tapi seharusnya punya. Mereka sering menghabiskan waktu di Maponsett.”
   Ify menyebrang ke meja salad pesanan Shilla. Ia menoleh dan bertanya, “Bagaimana dengan teman Alvin, yang pirang itu?”
   “Dia tampan, ya?” jawab Mrs. Winda. “Tapi aku tidak tahu namanya. Aku tahu nama gadis yang duduk di sebelahnya.  Ashilla Stratton. Putri dari peter stratton-kau tahu kan, bintang opera sabun di TV?” Mrs. Winda mengerutkan bibir dan menambahkan, “Dari sikapnya, kau akan mengira dialah sang bintang, bukan ayahnya.”
   Ify dan Sivia saling melempar pandang, terkejut. Mereka tak pernah mendengar Mrs. Winda bicara tentang hal lain selain bisnis restoran. Beliau jarang sekali bergunjing. Senang ,melihat beliau bersikap santai seperti itu, dan asyik juga mendengar cerita tentang tamu-tamu langganan klub kapal pesiar.
   “Ify kepingin tahu nama cowok pirang itu,”Kata Cakka sambil membawa wadah piring kotor ke dapur. “Aku berusaha mencuri dengar ketika lewat meja tujuh, tapi nggak bisa.”
   “Namanya?” ulang Mrs. Winda. “Kau ingin tahu namanya?”
    Ify menelan ludah dengan susah payah. “Aku hanya penasaran,” katanya malu-malu.
    “Coba nanti kita cari tahu.” Mrs Winda keluar lewat pintu ayun dengan langkah-langkah tegap seperti sersan militer. Beberapa saat kemudian beliau kembali besama jawabanya.
   Ify telah siap membawa keluar baki besar berisi kue kepiting, kerang kukus, dan salad ketika Mrs. Winda membisikan nama cowok itu di telinganya.
   “Sip,” gumam Ify
    Kali ini ia berhati-hati agar tidak tersandung, bicara tergagap-gagap, atau menjatuhkan sesuatu ketika mendekat ke meja.
   Ify membagi pesanan dengan cermat. Ketika menaruh makanan di depan cowok itu, ia berkata, “Silahkan, Rio.”
   “Kau tahu namaku.” Rio tampak terkejut, tapi senang.
   “Ify mengangguk. “Sekarang kita seri.”
   Ketika melangkah kembali ke dapur, Ify tak bisa manahan diri untuk tidak berjalan sedikit melenggang karena tahu ada sepasang mata mengawasinya. Sampai di pintu ia menoleh untuk melihat Rio. Cowok itu menatapnya dengan mulut ternganga. Ify tersenyum manis dan masuk ke dapur.
   Musim panas ini bakal sangat menarik!


Esok paginya Ify duduk di meja makan rumahnya, makan telur dan daging asap bersama ibu dan kakaknya, gabriel. Botol hijau berisi surat berdiri tegak di tengah-tengah meja kayu layaknya hiasan.

“Surat anak ini sangat manis,” kata mama Ify sambil menghirup tehnya. “Ketika masih di irlandia kami sering berniat mengirim surat dalam botol ke Amerika. Tapi tak pernah kulakukan.”
“Kukira surat dalam botol hanya ada di kartun,” Kata iyel, meraup kuning tlur terakhir di piringnya dengan ekeping roti bakar. “Dikirim orang yang terdampar di pulau.”
Sambil melambaikan selembar daging asap di udara, Ify menambahkan, “Orang dengan baju compang-camping dan janggut panjang.”

Mama Ify menatap botol itu dengan saksama.
“Sebenarnya banyak orang yang menulis surat dan mengirimkanya lewat botol,” katanya. “Aku pernah mendengar cerita tentang wanita bernama Daisy singer ahli  waris  pembuat mesin jahit singer. Dia menulis surat wasiat, memasukanya kedalam botol dan melamparkanya ke sungai Thomes di london, Inggris. Surat wasiat itu berisi janji untuk memberikan setengah harta miliknya kepada siapapun yang beruntung menemukan botol tersebut.”
Ify nyengir. “Kayak cerita Willy wonka and chocolate factory.”
“Bukan.” Mom menepuk pergelangan tangan Ify dengan sendok teh. “Ini kisah nyata. Dua belas tahun terapung melalui setengah lingkaran bumi, seorang laki-laki pengangguran sedang keluyuran di pantai San Francisco, putus asa dengan nasibnya. Dia menemukan botol itu di pantai, dan-bum! Dia dapat warisan enam juta dolar!”

“Luar biasa,” kata Iyel sambil menggeleng.
Mrs. Finnegan  menaruh tangan kiri di dada dan mengangkat tangan kananya. “Cerita ini bener, sumpah.”
“Wah.” Ify mengangkat botol dan menatapnya serius. Bisakah surat dalam botol ini membawa keajaiban?
Gabriel menunjuk botol dengan garpu. “Kau yakin nggak ada gulungan seratus dolar atau tiket lotere disana?”
“Nggak seberuntung itu,” kata Ify menghela napas.

Gabriel berdiri, mengangkat  piring dan peralatan makanya ke dapur. “Kalau begitu kau harus kerja musim panas ini,” Katanya sambil mengacak-ngacak rambut Ify dengan satu tangan secara sambil berlalu. “Kayak aku.”
Gabriel mahasiswa tingkat pertama di universitas Long Island dan mengahabiskan musim panasnya bekerja di kapal nelayan sewaan, Sun Catcher.  Pada akhir pekan ia dan Ify juga meluangkan waktu membantu di toko perlengkapan perangkat keras ayah mereka.

Mrs. Finnegan mama Ify dan gabriel mengoleskan selai blueberry pada roti panggangnya dan bertanya, “Kau sudah tau harus menulis apa kepada anak laki-laki itu?”
“Belum. Sepertinya dia sungguh sungguh.” Ify memasukkan dua potong gula ke dalam kopi dan mengaduknya. “Bayanganku, dia pasti anak yang serius. Kau tahu pucat dan pirang, dengan kacamata bulat berbingkai kawat.”
“Ayo, tulislah surat untuknya,” teriak Gabriel dari dalam dapur. “Dia pasti akan senang.”
“Pasti,” jawab Ify sambil mendorong kursinya ke belakang. “Anak itu butuh teman. Tapi dia baru sembilan tahun, sementara aku tujuh belas.”

“Bagus dong,” kata Gabriel yang kembali dengan segelas kopi. “Kalau sku sembilan tahun, pasti aku akan merasa hebat bisa menerima surat dari cewek pantai seksi Maponsett.”
“Cewek pantai seksi? Ulang Ify sambil mengangkat sebelah alis kearah Gabriel. Ia nggak pernah menyangka Gabriel sudah menganggapnya sebagai cewek.
Gabriel mendorong bahu Ify main-main.  “Waktu kau dan Sivia pakai bikini, kalian betul-betul sudah lulus tes. Tanya saja teman-temanku.”
Mrs. Finnegan mengankat cangkir teh ke bibirnya “Jadi ada tesnya, ya?
“Hei!” Gabriel menjentikan jari dan menunjuk Ify. “ Kirim fotomu kepada si R.R  pasti berguna untuknya. Foto itu bakal menaikkan reputasinya di antara murid-murid browning.”
Ify terkejut ketika Mrs. Finnegan menyetujui usul itu. “Iyel benar. Anak malang ini sepertinya benar-benar butuh bantuan.”
“Kau dan Sivia bisa berpose dengan papan selancar Duck Dunes. Jadi kalian terlihat kayak perselancar sejati,” kata Gabriel sambil melangkah ke kamar nya dekat ruang tamu. “Aku yang akan memotretmu. Bilang saja kapan.”
Semakin Ify membayangkan anak cowok berkacamata yang kesepian itu, duduk di bebatuan di Briney Beach, semakin sedih hatinya. Berpose dengan Sivia memakai bikini musim panas bukanlah ide buruk-_-. Ify baru saja hendak memanggil Gabriel ketika telepon berbunyi.
Ify mendorong kurinya agak jauh ke belakang supaya bisa meraih telepon partabel di atas bufet. Pondok mereka di Sea Salt Lane sebenarnya terlalu kecil untuk mereka berempat. Tapi paling tidak semua benda mudah di raih.
“Finnegans’ Fun Factory,” seru Ify ke corong telepon. Mom melempar serbet ke arahnya, tapi Ify berhasil menghindar.
“Stuyvesant!” jerit Sivia. “Itu nama keluarga Rio!”
Kursi Ify terlempar ke depan dengan suara keras. “Coba ulangi.”

“Pagi ini aku cerita pada ibuku tentang surat dalam botol.” Sivia bicara pelan dan jelas, tapi Ify tahu temanya itu sangat antusias. “Juga tentang nama anak yang menulis surat itu, dan kata ibuku ‘itu pasti singkatan dari Rio Radcliff stuyvesant.’ R.R itu Rio!”
Ify menggeleng, nggak yakin dengan pendengarannya. “Kok ibumu tahu?”
“Ibuku sering mendandani rambut neneknya.”
Mata biru Ify melebar. “Nggak mungkin.”
“Kenapa nggak?”
“Tapi.... Dash kan lebih tua, kayaknya delapan belas tahun,” Kata Ify.
“Betul,” bisik Via.
Tulang punggung Ify bergetar, air mata merebak di ujung matanya. Reaksi itu biasa muncul kalau ia mendengar cerita hantu yang bagus.

“Berarti surat itu sudah mengapung di lautan selama paling tidak sembilan tahun.” Ify mengangkat botol dan memutarnya.
“Sembilan tahun untuk mencarimu,” tambah Via dramatis.

Mrs Finnegan, yang sudah mengangkat gelas dan piring bekas sarapan ke dapur, melongok ke ruang makan dan bertanya “Ada apa? Kau harus cerita! Aku kan ibumu.”

Ify meminta Via untuk menunggu sebentar. Ia meletakkan telepon menyambar tangan ibunya, dan melompat-lompat sambil menjerit, “ R.R Ternyata cowok impianku! Cowok impianku!”
“Cowok impian?” Mrs. Finnegan benar-benar bingung. “Cowok impian apa?
“Mom, dengar.” Ify mengangkat botol hijau berisi surat kemudian menjentikkanya. “Anak yang menulis surat ini ternyata cowok yang menggodaku di Land’s End semalam.”
“Kau nggak cerita tentang cowok ini. Siapa sih?”
Ify memeluk Mom erat-erat. “Cowok paling tampan, seksi, sangat menarik—“
“Aku mengerti.” Jerit Mrs. Finnegan yang kehabisan napas karena Ify memeluknya terlalu erat. “Ini keajaiban.”
“Keajaiban besar.” Ify menyambar telepon, botol, dan potongan terakhir daging asap, kemudian bergegas melewati dapur menuju kamarnya yang kecil dekat serambi belakang.

Kamarnya sangat kecil sehingga Dad membuatkan tempat tidur lipat yang bisa dimasukkan ke lemari, seperti tempat tidur di kabin kapal. Dad melapisi bilik kecil di dalam dinding itu dengan kayu  dan membuat laci-laci di bawah tempat tidur. Ify telah mengubah kamarnya menjadi istana awan khayalanya, dengan awan awan seputih kapas menutupi dinding yang di cat biru. Warna langit yang  biru terang berubah jadi ungu tua di langit –langit kamar dengan bintang-bintang dan bulan sabit.
“Maaf ya, Vi, aku harus cerita dulu pada Mom tadi,” kata Ify sambil melompat duduk di atas selimut satin biru.
“Ibumu takjub nggak?”
Ify mengunyah potongan daging asap. “Banget.”
“Kemungkinanya kecil sekali kau menemukan surat yang dikirim sembilan tahun lalu, dan betemu dengan cowok yang menulisnya pada hari yang sama, hanya mungkin terjadi dalam satu berbanding semiliar.”
“Satu banding setriliun.” Ify bangkit dan berdiri di depan cermin setinggi tubuh yang di gantung di balik pintu kamar. Ia melihat bayanganya, berusaha mencari petunjuk kalau kalau ibu peri telah menepuk bahunya dengan tongkat ajaib.

Bayangan cewek berkaus kuning pudar dan piama scooby doo kusut balas menatapnya. Tidak ada tanda-tanda penampilanya sudah berubah secara ajaib. Tapi perasaan Ify benar benar berubah.
“Apa arti semua ini Via?” bisik Ify
“Ini takdir,” Jawab Via tegas. “Kau dan Rio memang sudah ditakdirkan untuk bersama.”
Ify terus menatap cermin itu sambil membayangkan cowok pirang jangkung berdiri disampingnya. “Mungkin benar. Terus, aku harus apa?”
“Tulis surat kepada Rio dan katakan apa yang terjadi.” Suara Via terdengar penuh semangat.
“Aku yang akan mengantar surat itu.”

Ify mengerjapkan mata dengan terkejut. Jawaban Sivia cepat dan yakin sekali. Pasti ia sudah memikirkanya sebelumnya.
“Aku sudah membicarakanya dengan ibuku,” kanjur Via.  “Kami pikir akan sangat lucu kalau kau menulis surat dan mengirimnya dalam botol yang sama.”
“Aku suka idemu!”seru Ify. “Aku tulis sekarang deh!” ia mencari-cari dalam lemari bercat yang setengahnya berisi pakaian dan setengahnya lagi benda seni. Ify menarik dua wadah plastik. Yang satu bertuliskan PENA BERKILAP  dan satunya PENSIL WARNA. “Kau tahu di mana nenek Rio tinggal?”
“Nggak, tapi aku kebetulan tahu Rio dan Alvin sedang berselancar di duck Dunes pagi ini, “Kata Via, kemudian menambahkan melu-malu,  ”aku mau bawa spike jalan jalan dan pura-pura nggak sengaja bertemu mereka.”

Spike adalah anjing gendut milik Sivia. Ia suka menggonggong dan menggigit pergelangan kaki orang. Tapi jika anjing itu dibawa, Sivia jadi punya alasan untuk berjalan-jalan ke sekeliling kota.
“Aku akan mampir di rumahmu untuk mengambil botolnya,” Sivia menawarkan.
“Aduuuuuuhhhh, aku nggak bisa nunggu selama itu,” Kata Ify. “Kita ketemu di tengah-tengah. Di pojok Stovepipe Alley*nama toko*
“Kau bawa suratnya, aku bawa anjingnya.”

Ify menutup telepon, mengganti pakaiannya dengan celana pendek kuning dan kaus celup SODA dari New York Schol of Design and Art, kemudian mengenakan sandal Peeking Duck. Untuk lucu-lucuan Ify menjepitkan bunga anyelir dari kain di telinga kanan.
“Kartas. Harus punya kertas,” gumamnya sambil mencari-cari sehelai kertas di dalam lemari. Akhirnya ia menemukan kertas gambar bewarna di bawah kotak cat. Ify menyobek kertas kuning kemudian menjatuhkan diri ke atas karpet berbulu panjang warna Biru indigo dan mulai menulis surat:


Dear Rio,
Sesuatu yang lucu terjadi padaku saat dapat surat—dari kau. Surat itu dikirim lewat laut dalam botol, dan kayaknya butuh waktu sembilan tahun untuk sampai disini. Apakah kau masih mencari teman? Kalau ya, aku mau jadi temanmu. Sekaligus pelayanmu.
Salam,
Ify Finnegan
Umur 17
SMU Maponsett
Maponsett, New York

NB: aku akan ada di land’s End malam ini. Ketemu disana, ya!


Ify membaca suratnya sekali lagi dan tersenyum. Sederhana. Terus terang. Tidak terlalu mendayu-dayu. Ia menggulungnya dengan hati-hati dan mengikatnya denga  pita hijau limau yang sebelumnya tertempel di papan buletin.

Hati-hati Ify memasukkan surat itu ke botol dan bergegas ke dapur untuk mencari gabus penyumbat. Gabus botol itu sudah hancur ketika ia menariknya tadi malam.
“Mom!” jeritnya sambil mencari-cari di dalam laci dapur. “Aku akan bersepeda ke kota dan mengirim suratku.”
“Kantor pos tutup hari ini,” jawab Mrs. Finnegan dari halaman belakang tempat ia menyirami kebun mawarnya.
“Aku tahu,” jawab Ify sambil beranjak ke bufet yang berantakan di samping meja makan dan mulai mencari gabus di sana. Laci tengah penuh gulungan selotip yang baru setengah terpakai, baterai bekas, sendok kayu untuk salad, beberapa pensil yang sudah patah, dan bermacam-macam tatakan serta kain tahan panas. Akhirnya Ify menemukan gabus penyumbat di bawah tumpukan serbet di kiri laci. “Aku mengirim balasan surat untuk R.R Stuyvesant. Di dalam botol juga.”

Mrs Finnegan Membuka pintu kasa dan berteriak ke dalam, “Wah, cerdas kau. Jangan lupa ceritakan kejadian ajaib ini pada ayahmu saat kau ketemu dia di toko, ya”
“Toko!” Ify memukul keningnya dengan terkejut. Ia melihat jam diatas microwave di dapur.  “Aku bilang pada Dad akan datang ke toko jam sebelas. Aku harus buru-buru.”

Ify memasukkan botol hijau ke tas kurir merah mudanya dan mendorong pintu kasa hingga terbuka. Sepedanya tersampir di samping rumah.
Seperti biasa Ify menggunakan bakat alaminya sebagai peramcamg untuk mengubah sepeda tua menjadi sepeda indah yang mengagumkan. Ia mengecat nya dengan warna hitam bintik-bintik putih tak beraturan sehingga kelihatan seperti sapi perah. Di dekat bemper belakang tergantung pita yang didapatnya dari toko Dad sebagai buntut yang berkibar kibar. Setang sepeda dicat cokelat terang sehingga tampak seperti tanduk sapi. Lonceng sapi tergantung di bagian tengah setang. Ify menyebut sepedanya “Moo-cycle”.
Ify menjejakkan kaki di pedal dan bersiap mengayuh ketika sahabat Gabriel, Dayat tiba dengan motor Kawakasi Ninja
“Ify, jangan pergi,” seru Dayat sambil memasang kaki motor. “Aku baru saja sampai.”
“sampai nanti, Dayat,” Ify yang sudah sampai di halaman depan berseru sambil menoleh.

Ify tersenyum tapi terus mengayuh. Dayat kuliah di Universitas Mapponset untuk bekerja selama musim panas. Biasanya Ify akan mengobrol dan bercanda dengan sahabat kakaknya yang tampan itu.


Tapi sekarang semua berubah. Setelah malam pertamanya di Land’s End, seorang cowok—dan hanya ia seorang—nggak pernah lepas dari pikiranya” Rio Radcliff Stuyvesant,III




Tidak ada komentar:

Posting Komentar