Jumat, 15 Maret 2013

Last Memories With You.. (one shot)


Main Cast        :

Cakka        
Agni               
Sivia
Alvin      

Genre               :
Romantis, Sad

Diclaimer         :
cerita ini milik saya dan saya harap kalian suka. Cakka, Alvin dan Sivia adalah milik Tuhan, orang tuanya, dan milik kalian semua^^

Warning          :
Typo meraja lela.

NB                   :
Hai readersss. Admin lama kembali lagiii. Aaa udah lama nggak ngepost cerita di fanpage ini u,u terfokus buat fanfiction tentang Super Junior sih jadi agak lupa sama ini fanpage *plak* Taulah siapa admin lama di fanpage ini.
Sebenernya fanfic ini aku ambil dari kumpulan-kumpulan fanfiction Super Junior yang aku buat dan itu maincastnya juga dari member Super Junior kkk~ jadi mianhae kalau misal ada kata-kata koreanya, aku males ngedit *eh
Kuharap kalian suka otte. Kamsaaaa

diharapkan mendengarkan “SUPER JUNIOR – MEMORIES dan SUPER JUNIOR KRY – STOP WALKING” ketika membaca one shoot ini.


%%%


“Kau harus menjaga kesehatanmu eo?” kata seorang yeoja (wanita) yang berjalan berdampingan dengan seorang namja yang tengah menggunakan tongkat penyangganya.
Ne (iya), noona (panggilan anak laki-laki kepada kakak perempuan).” balas namja (laki-laki) itu dengan wajah malas.
“Kau tau, kau sangat merepotkanku. Kau ini belum mahir mengendarai motor jadi jangan sesekali mengenderai motor seenaknya, apalagi ngebut. Begini kan jadinya.”
Mianhaeyo (aku minta maaf), noona. Aku yang salah.”
“Bagus, kau memang anak pintar, Cakka.” ucap Sivia –yeoja itu sambil menepuk-nepuk kepala dongsaeng (adik) kesayangannya ini.
Eomma (Ibu) dan Appa (Ayah) tidak bisa menunggu apalagi menjengukmu. Mereka akan pergi ke Taiwan selama beberapa minggu dan berangkat malam ini. Jadi kau telepon saja Eomma agar Eomma tidak khawatir denganmu.” Lanjut Sivia sembari membenarkan tas di pundaknya.
Arasseo (aku mengerti) noona. Sudahlah kau tak perlu memberi tahuku ini itu. Aku sudah pintar jadi kau tak perlu takut.” Cakka yang jengah dengan sikap noona-nya itu mencoba untuk berbicara.
“Yak paboya (bodoh)! Aku dibanding dirimu itu lebih pintar aku. Kau tidak mengerti hah?” Sivia yang tidak terima dengan ucapan dongsaeng-nya itu langsung memukul kepala Cakka dengan map yang dibawanya.
Jinja (Benar-benar)!! Kau kejam sekali dengan dongsaeng-mu yang tampan ini, noona. Lihatlah, aku sedang sakit. Kau ingin melihat sakitku lebih parah huh?” Cakka memperlihatkan tongkat yang sedari tadi menjadi tumpuan tubuhnya untuk membantu berjalan. Dengan tatapan tajam, Sivia jalan begitu saja meninggalkan Cakka.
“Yak noona, tunggulah aku.” Teriak Cakka berusaha mengejar Sivia yang sudah cukup jauh dari pandangannya. Cakka tetap berusaha mengejar Sivia hingga depan rumah sakit.
“Kau membuat kakiku menjadi makin parah, noona.” Nafas Cakka terengah-engah karena memang dia berusaha untuk mengejar Sivia.
“Suruh siapa kau membuatku kesal? Hmm aku pulang dulu, Cakka-ah. Kalau ada apa-apa panggil saja suster atau dokter di rumah sakit ini. Jangan telepon aku, arra. Aku sedang sibuk. Jaga kesehatanmu di rumah sakit ini. Rumah sakit ini akan menjadi rumahmu sementara selama beberapa minggu untuk pemulihan kakimu yang patah itu. Kau dengar.”
Arasseo noona. Sudah sana kau cepatlah pergi.”
“Baiklah, annyeong (sampai jumpa) chagi~ (sayang~)” Sivia segera masuk ke dalam taksi yang baru saja datang. Cakka menatap taksi itu yang perlahan keluar dari pelataran rumah sakit, sampai taksi itu benar-benar tak terlihat barulah Cakka berbalik menuju ke kamarnya. Namun ketika ia akan berbalik, tiba-tiba ia mendapatkan sebuah pelukan yang mendorong tubuh Cakka ke sudut pintu rumah sakit. Cakka yang masih belum tersadar tetap diam dengan ekspresi kaget.
“Yak siapa kau tiba-tiba memelukku seperti ini hah?” Cakka berusaha melepaskan pelukan yeoja itu, tetapi tangan yeoja itu malah merangkul leher Cakka dengan erat.
“Ku mohon kali ini kau membantuku. Jebal (ku mohon)!! Hanya kali ini.” bisik yeoja itu tepat di telinga Cakka. Cakka yang mendengar bisikan yeoja itu langsung diam dan menuruti apa kemauan yeoja itu. Pandangan Cakka beralih pada segerombolan suster dan satu dokter yang berlari ke arahnya. Wajah mereka terlihat panik.
“Suster, kalian coba mencari dia ke sana. Sedangkan aku akan mencoba mencari dia di taman.” Seru sang dokter yang disambut anggukan dari beberapa suster ketika tepat berada di depan Cakka. Setelah dokter dan beberapa suster itu sudah menghilang, barulah yeoja yang memeluk Cakka melepaskan dirinya dari pelukan Cakka sehingga membuat keseimbangan Cakka sedikit goyah. Yeoja itu membantu Cakka untuk berdiri tegak lalu membenarkan letak tongkat pada lengan Cakka.
“Maaf sikapku ini, agasshi (ungkapan kepada seseorang yang baru dikenal atau tidak dikenal). Aku telah memelukmu tanpa seijinmu.” kata yeoja itu sambil menatap Cakka yang kini ada di hadapannya.
“Kau ini kenapa hah tiba-tiba memelukku? Memangnya kau mengenaliku? Aku saja tidak mengenalimu.” sahut Cakka tajam. Yeoja itu kembali menatap Cakka.
“Maka dari itu aku meminta maaf padamu, agasshi.”
“Oh aku mengerti, atau jangan-jangan kau ini orang yang sedang dicari-cari oleh dokter dan suster tadi eo?” selidik Cakka yang membuat yeoja itu tak berkutik.
“Kau tidak perlu tahu urusanku, agasshi. Lebih baik aku pergi sekarang.” Yeoja itu membalikkan badannya berniat meninggalkan Cakka namun baru dua langkah yeoja itu berjalan, dia teringat akan sesuatu sehingga ia kembali membalikkan badannya menatap wajah Cakka.
“Karena kau sudah membantuku, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu. Kamsahamnida (terima kasih *formal*)…..”
“Cakka. Cakka.” sela Cakka sambil memperlihatkan deretan gigi putihnya. Yeoja itu hanya mengangguk, mencoba memahami apa maksud Cakka itu.
“Baiklah. Kamsahamnida, Cakka-ssi.” kata yeoja itu seraya berbalik meninggalkan Cakka yang masih berdiri di sudut pintu. Cakka masih menatap yeoja yang menggunakan pakaian yang sama dengannya namun bedanya yeoja itu menambahkan jaket berwarna putih di badannya dengan lekat. Pandangan Cakka sama sekali tidak beralih dari yeoja itu sampai yeoja itu benar-benar menghilang dari pandangannya.
“Gadis yang unik.” gumam Cakka diikuti senyuman smirk dari bibirnya.

***


Ne, Eomma. Kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja.” Kata Cakka membalas sahutan telepon dari seberang.
“Sivia noona sedang sibuk mengerjakan tugasnya, Eomma. Sudahlah lagi pula aku sudah terbiasa sendiri bukan? Eomma tidak perlu khawatir, arraseo. Lebih baik Eomma menjaga kesehatan Eomma dan Appa di Taiwan. Kalau ada apa-apa dengan Eomma dan Appa, aku akan lebih mengkhawatirkan kalian.” Cakka yang masih setia dengan ponsel di telinganya tetap menanggapi apa yang ditanyakan oleh Eomma-nya.
Ne, Eomma. Eomma dan Appa jaga kesehatan di Taiwan, arra (mengerti). Saranghae (Aku mencintaimu) Eomma.” Cakka pun segera mematikan sambungan teleponnya. Sesekali ia melirik televisi yang sedari tadi menyala namun tidak ditonton olehnya sama sekali.
“Bosaaaaaaaaann. Acara televisi tidak ada yang menarik.” Cakka dengan cepat mematikan televisi itu, ia mengambil tongkat yang menjadi alat bantu berjalannya lalu bergegas keluar dari kamarnya. Tongkat itu perlahan ia gerakkan menuju ke taman rumah sakit, ini pertama kalinya Cakka berada di taman ini. Ia edarkan pandangannya melihat-lihat sekitaran taman itu. Indah, menarik, cantik. Itulah kata yang menggambarkan taman yang ada di hadapan Cakka. Pandangan Cakka terhenti pada satu titik, ia melihat yeoja yang baru kemarin ini dilihatnya. Yeoja yang –tidak sengaja– memeluknya itu. Senyuman Cakka mengembang seketika dan dengan cepat ia ayunkan tongkatnya itu ke arah yeoja itu berdiri.
Annyeong (Hai)..” sapa Cakka sok akrab sembari duduk di samping yeoja yang sedang melukis. Yeoja itu menatap sekilas Cakka yang ada di sampingnya dengan pandangan dinginnya.
Nugu (Siapa)?” tanya yeoja itu yang membuat Cakka menjadi salah tingkah.
“Kau tidak mengenaliku? Sungguh?”Cakka kembali mencoba mengingatkan yeoja itu tetapi yeoja itu kembali menggelengkan kepalanya dan kembali mengalihkan pandangannya pada lukisannya. Cakka menghela nafas yang cukup panjang lalu memandang yeoja itu dari samping.
“Kalau aku bilang aku adalah namja yang kau peluk saat kau kabur dari kejaran dokter dan suster itu apa kau sudah ingat?” Cakka memandang yeoja disebelahnya ini dengan tatapan berharap. Yeoja itu tampak berhenti dari kegiatan melukisnya. Ia taruh kuas lukisnya di atas palet lalu beralih menatap Cakka.
“Jadi kau Cakka?” senyuman Cakka kembali merekah ketika yeoja ini masih mengingat namanya.
“Syukurlah kau masih mengingat namaku. Kukira kau sudah terserang amnesia sehingga lupa dengan kejadian kemarin itu.”
“Mana mungkin aku lupa? Tunggu, mengapa kau tiba-tiba mendatangiku seperti ini? Apa aku ada salah denganmu? Atau kau masih mempermasalahkan soal pelukkan itu? Bukannya aku sudah minta maaf padamu, hmm.” Cakka tersenyum sekilas, yeoja itu sempat tercengang ketika melihat senyuman Cakka yang menurutnya sangat manis itu.
Aniyo (Tidak *formal*), aku tidak akan mempermasalahkan soal itu lagi. Aku tidak sengaja jalan-jalan dan melihatmu di sini. Yak kau suka melukis?” Cakka memperhatikan lukisan yeoja itu dengan sesama. Yeoja itu tengah melukis pemandangan yang ada di hadapannya saat ini.
“Ahh ini. Ne, dari pada aku mati bosan di rumah sakit ini tak ada salahnya aku mengekspresikan hobiku untuk mengisi kebosananku.” jawab yeoja itu yang sudah kembali berkutat dengan kuas serta paletnya. Selama beberapa detik keheningan menyelimuti mereka berdua. Yeoja itu sibuk dengan lukisannya sedangkan Cakka sibuk dengan pemandangan yang ia lihat di taman itu.
“Yak apa kau mau jadi temanku?” Yeoja itu memutar kepalanya menatap Cakka yang masih memandang pemandangan di hadapannya.
“Kau bicara denganku?” tanya yeoja itu sekali lagi pada Cakka, Cakka kembali memperlihatkan senyumannya lalu berbalik memandang yeoja itu.
“Di sini hanya ada kau dan aku. Lalu aku harus bertanya kepada siapa lagi? Aku di rumah sakit ini sendiri. Tak ada teman. Karena di rumah sakit ini aku hanya mengenalmu saja, maka tak ada salahnya bukan jika aku mengajakmu berteman. Kulihat kau juga tak begitu memiliki teman di rumah sakit ini.”
“Untuk apa aku memiliki teman? Tak ada gunanya.”
Jinjayo (Benarkah)? Kalau begitu aku menawarkan diri untuk menjadi temanmu. Bagaimana?”
“Kau sangat menyusahkanku, Cakka.” Yeoja itu kembali berkutat dengan lukisannya, Cakka sempat tersenyum melihat yeoja itu yang masih acuh dengan kehadirannya.
“Aku serius padamu. Bagaimana? Apa kau bersedia menjadi temanku?” Cakka mengulurkan tangan kanannya kepada yeoja itu. Yeoja itu sempat melirik tangan Cakka lalu beralih menatap wajah Cakka. Cakka tersenyum lagi untuk yang kesekian kalinya kepada yeoja itu. Tangan yeoja itu perlahan mendekat pada tangan Cakka, dengan cepat Cakka menautkan tangan kanan yeoja itu.
“Baiklah. Mulai sekarang kita berteman.” kata Cakka penuh semangat. Yeoja itu tersenyum melihat tingkah Cakka yang menurutnya kekanak-kanakkan itu. Cakka melihat senyuman itu, senyuman yang untuk pertama kalinya ia lihat dari wajah yeoja itu. Senyuman yang menciptakan lesung pipit yang menonjol di pipi chubby sebelah kanannya.
“Kau terlihat manis jika kau tersenyum.” gumam Cakka pelan.
“Kau berkata apa?” tanya yeoja itu yang tidak mendengar gumaman Cakka barusan. Cakka menjadi kelabakan sendiri ketika yeoja itu bertanya.
A..aani (Tidak *informal*). Bukan apa-apa. Tidak penting.” Yeoja itu kembali tersentum tipis lalu kembali beralih pada lukisan yang sedikit lagi selesai ia lukis. Cakka memperhatikan tiap goresan yang yeoja itu buat di kanvas. Perlahan yeoja itu menurunkan kuasnya dan kembali meletakkan kuasnya di atas palet. Cakka memperhatikan yeoja itu yang perlahan memperlihatkan wajah sendunya.
Waeyo (Kenapa)?”
“Cakka-ssi, selama kita berteman, aku mengharapkan sesuatu darimu.”
Mwo (Apa)?”
“Ku mohon, kau jangan pernah jatuh cinta padaku.” Yeoja itu kembali memperlihatkan senyumannya pada Cakka. Cakka tercengang mendengar permintaan yeoja itu. Jatuh cinta? Mengapa tiba-tiba hati Cakka seperti mencelos ketika mendengar permintaan yeoja itu? Mengapa ada perasaan tidak rela di hatinya?
“Nona Agni.” Suara panggilan itu membuat lamunan Cakka buyar. Cakka menoleh ke kanannya dan mendapati seorang suster tengah berdiri di sampingnya. “Kau harus menjalani terapi sekarang.” lanjut suster itu. Yeoja itu mengangguk dan beralih pada alat-alat lukisnya. Suster tersebut membantu yeoja itu membereskan alat-alat lukis serta lukisan yang sudah hampir jadi. Cakka hanya memperhatikan yeoja dan suster yang ada di hadapannya tanpa membantu sedikitpun. Kini yeoja itu sudah berdiri di hadapan Cakka sambil membawa kanvas yang sudah terlukis.
“Aku harus pergi, Cakka-ssi. Annyeong.” Baru beberapa langkah yeoja itu meninggalkan Cakka, Cakka teringat sesuatu.
“Yak, siapa namamu?” teriak Cakka ketika yeoja itu sudah cukup jauh dari dia berada.
“Agni.” balas Agni –yeoja itu– dengan senyuman yang sangat Cakka sukai. Cakka tersenyum mendengar nama itu. Perlahan sosok Agni menghilang dari pandangan Cakka namun senyuman masih terukir kelas di wajah Cakka.
“Agni-ya, mianhae (maafkan aku) aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu karena aku sudah benar-benar terpikat denganmu.” gumam Cakka disambut senyuman smirk andalannya. Cakka segera mengambil tongkat yang ia letakkan di samping tempat duduk lalu ia berjalan memasuki rumah sakit. Ia berjalan ke bagian informasi dengan bantuan tongkatnya.
Annyeong haseyo (Selamat pagi/siang/sore/malam *formal*). Ada yang bisa kami bantu?” suara lembut suster yang menjaga tempat informasi yang Cakka datangi menyambut Cakka dengan ramah. Cakka tersenyum.
“Suster, bisa tolong saya carikan ruangan seorang pasien di sini.” pinta Cakka pada suster itu. Suster itu tersenyum ramah.
“Baiklah. Atas nama siapa?” Cakka tersenyum lebar ketika mendengar jawaban itu.
“Agni, suster. Agni.” jawab Cakka semangat. Perlahan suster itu mengetik sebuah nama di komputer yang ada di hadapannya.
“Atas nama Agni ada di kamar 369 di lantai 3. Apa perlu kami antar?” Cakka menggeleng cepat.
Aniyo. Suster tidak perlu mengantarku, aku bisa ke sana sendiri. Kamsahamnida untuk infonya, suster. Annyeong haseyo.” Cakka membungkukkan badannya singkat lalu kembali menggerakkan tongkatnya menuju ruangan yang dimaksud suster tadi. Setelah menaiki lift yang saat itu sangat sepi, akhirnya Cakka sudah sampai di lantai yang ia tuju. Tongkat itu ia gerakan menyusuri lantai 3 ini. Pandangan Cakka tak bisa lepas dari pintu-pintu yang ia lewati.
“365..366..367..368..369.. yak ini ruangannya.” Seru Cakka ketika sampai di pintu yang bertuliskan angka yang dimaksudkannya itu. Ketika ia akan membuka pintu itu, terdengar suara erangan serta tangis dari dalam kamar itu. Cakka menghentikan niatnya untuk membuka pintu, ia melirik sekilas dari kaca pintu yang menembus ke dalam kamar. Ia melihat Agni tengah meringis kesakitan ketika sebuah selang infus yang berisi obat-obatan masuk ke dalam tubuh Agni. Keringat Agni keluar banyak dari tubuhnya, ia mengejang beberapa kali, nafasnya tersenggal-senggal, air matanya terus-terusan keluar dari pelupuk matanya. Dokter yang ada di sampingnya terus mengecek jam di tangannya dan infus yang cairannya mengalir masuk ke dalam tubuh Agni. Beberapa suster sibuk memegangi tangan serta kaki Agni yang terus mengejang dan ada juga suster yang membantu Agni menyeka keringatnya. Di dalam ruangan itu ada pasangan suami istri yang tengah melihat Agni dalam keadaan seperti itu, sang istri terlihat menangis ketika melihat keadaan Agni seperti itu dan juga sang suami terlihat merangkul sang istri untuk menenangkannya. Cakka dapat menyimpulkan bahwa mereka adalah kedua orang tua Agni. Hati Cakka perlahan runtuh melihat pemandangan seperti itu. Perlahan ia memundurkan tongkatnya, menjauh dari pintu itu. Pintu yang memperlihatkan kelemahan Agni. Cakka masih menggerakkan tongkatnya menuju ke lift, ia berniat akan kembali ke kamarnya atau mungkin ke taman. Entahlah, pikiran Cakka saat ini hanya tertuju pada Agni. Agni yang kesakitan ketika menjalan terapi seperti itu. Ia sadar, ia baru bertemu dengan Agni kemarin dan ia baru berteman dengan Agni tadi siang, tapi entah mengapa ia merasakan sakit yang luar biasa di hatinya ketika harus melihat Agni seperti tadi. Cakka terduduk di kursi yang ada di lorong rumah sakit, dadanya sesak menahan rasa sakit di hatinya saat ini. Nafas Cakka memburu, tubuhnya mendadak lemas. Setetes air mata jatuh di pipi putih Cakka. Mengapa Cakka harus menangis? Mengapa ia harus menangis karena melihat keadaan wanita itu? Mengapa ia harus merasakan sakit yang luar biasa di hatinya sekarang? Cakka masih menerka-nerka jawaban dari pertanyaan yang bermunculan di otaknya saat ini. Dan sekarang Cakka tahu jawabannya, karena Cakka benar-benar terlanjur jatuh cinta pada wanita itu.

***


Agni terduduk di taman rumah sakit. Setelah melakukan terapi kemarin, tubuh Agni terasa sangat lemas. Ini yang membuat Agni selalu menghindar jika ia diharuskan ikut terapi. Terapi perlahan membuat ketahanan tubuh Agni menurun. Pandangan Agni kosong menatap kolam ikan di hadapannya. Agni masih sibuk dengan pikirannya tentang penyakit yang sudah bertahun-tahun menggerogoti tubuhnya ini. Jujur, ia lelah dengan penyakitnya. Ia sangat lelah menanggung penyakit ini sendiri. Mengapa harus dia yang memiliki penyakit ini? Mengapa harus dia yang menanggung rasa sakit ini sendiri? Jika diperbolehkan, ia ingin membagi rasa sakit ini kepada orang lain, tapi kepada siapa ia membagi rasa sakitnya ini karena ia tahu bahwa tak ada orang yang bersedia memiliki penyakit semacam ini. Pipi Agni kini sudah benar-benar basah, ia selalu menangis jika harus mengingat penyakitnya. Penyakit yang sudah mengubur semua mimpi-mimpi Agni, penyakit yang sudah memupuskan cinta Agni pada seseorang, penyakit yang sudah membuat masa indah Agni harus dijalani di rumah sakit, penyakit yang membuat Agni kehilangan teman-temannya, dan penyakit yang membuat Agni kesakitan setiap harinya. Agni tersenyum miris, tersenyum meratapi hidupnya yang tinggal menghitung hari atau bahkan menghitung jam. Agni mengerti bahwa kematian pasti akan terjadi padanya suatu saat nanti. Agni siap, ya Agni siap jika ia harus meninggalkan dunia ini.
“Ceritakanlah tentang penyakitmu itu padaku.” suara itu membuat Agni berhenti sejenak dari pikiran tentang penyakitnya. Ia menoleh ke kiri, didapatinya Cakka sudah duduk di samping Agni. Melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Agni, memandang kolam yang ada di hadapannya. Agni tersenyum tipis.
“Kalau kau tahu penyakitku, apa kau akan sama dengan temanku lainnya, meninggalkanku sendiri ketika sudah mengetahui penyakit yang aku derita.”
Ani. Aku tidak akan seperti mereka, aku berani bersumpah padamu. Maka dari itu, ceritakan padaku tentang penyakitmu, Agni-ya. Bukan kah kita teman?” Cakka mendengar Agni menghela nafas berat. Ia tidak mau melihat Agni sekarang karena jika ia memandang wajah Agni maka ia akan dengan cepat memeluk tubuh Agni. Namun ia menahan itu karena ia ingin Agni menceritakan semuanya.
“Aku..aku terserang kanker otak stadium akhir. Sudah 3 tahun lamanya aku bergulat dengan penyakit ini dan sudah 2 bulan ini aku menjadi pasien tetap di rumah sakit ini. Apa kau bisa merasakan bagaimana menjadi diriku, Cakka-ah? Aku tersiksa, aku tersiksa dengan penyakit ini.” Agni menunduk, ia mencoba mengontrol emosinya. Kedua tangannya ia remas, ia menahan tangisnya namun apa daya, air mata yang sudah berusaha ia tahan tetap saja jatuh membasahi pipinya.
“Aku lelah dengan penyakit ini. Aku lelah dengan terapi yang aku jalani. Aku lelah dengan keadaan ini. Mengapa hanya untuk mati saja aku harus merasakan sakit seperti ini? Aku benar-benar tidak kuat, Cakka-ah. Aku lelah dengan ini semua.” Agni sudah tidak dapat menahan emosinya, air mata sudah deras membasahi pipi chubby Agni. Agni benar-benar terlihat kacau saat ini.
“Karena penyakit ini aku harus kehilangan teman-temanku. Mereka pergi meninggalkanku satu per satu. Dan yang paling menyakitkan adalah, aku harus kehilangan orang yang begitu aku cintai. Ketika ia mengetahui penyakitku, dengan teganya ia mencampakkan aku begitu saja. Padahal aku benar-benar sudah mencintainya saat itu. Aku harus merasakan sakit hati yang luar biasa karena penyakit ini, Cakka-ah. Dan pelukis, aku harus mengubur mimpiku menjadi seorang pelukis karena penyakitku. Aku merasa menjadi orang yang sangat tidak berguna di dunia ini. Aku merasa aku ditakdirkan untuk hidup sendiri, Cakka-ah. Hidup tanpa cinta dari orang lain kecuali kedua orang tuaku.”
Cakka menatap Agni yang ada di sebelahnya, perlahan tangannya ia gerakkan mengusap bahu Agni. Mata Cakka tampak berkaca-kaca, ia benar-benar tidak sanggup melihat yeoja yang sudah dicintainya menjadi selemah ini. Ia sudah benar-benar tidak sanggup menahannya, dengan cepat ia rengkuh tubuh Agni. Bahu Agni bergetar hebat, tangisan Agni pecah begitu saja. Agni lepaskan segala kesedihannya di pelukkan Cakka. Cakka memberikan usapan lembut di punggung Agni dan kepala Agni. Sesekali Cakka memberikan kecupan di puncak kepala Agni. Agni mengeratkan pelukkannya itu, Agni sangat merindukan sebuah pelukkan. Air mata Cakka menetes membasahi pipinya, rasa sakit ini kembali muncul mendera hatinya.
“Kau tidak sendiri, Agni-ya. Ada aku di sini, aku yang akan selalu ada untukmu.”

***


Ini merupakan minggu ke 2. Minggu ke 2 perkenalan Cakka dan Agni sejak pertama mereka berteman. Sekotak cupcakes sudah berada di tangan Cakka. Ia memang menyuruh Sivia membelikan 2 buah cupcakes untuknya. Cakka ingin merayakan 2 minggu pertemanannya dengan Agni. Aneh memang, namun ia benar-benar ingin merayakan ini hanya berdua bersama Agni. Kaki Cakka sudah mulai membaik, namun ia masih diperkenankan menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan hanya untuk pemulihan sementara. Tongkat itu ia gerakan perlahan ketika pintu lift sudah terbuka, ia berjalan menuju kamar Agni yang terletak cukup jauh dari letak lift berada. Ketika ia sudah akan mencapai pintu kamar Agni, ia melihat sosok pria keluar dari kamar Agni. Pria yang mungkin terlihat lebih muda 2 tahunan dari dirinya. Pria iru berjalan mendekati Cakka. Cakka memandangi pria itu dengan pandangan tajam. Ketika pria itu sudah dekat dengannya, Cakka segera menghadang jalan pria itu.
“Kau siapanya Agni, hmm?” tanya Cakka skeptis yang membuat pria itu tersenyum simpul.
“Apa kau Cakka? Agni sudah menceritakan banyak tentangmu padaku.” kata pria itu dengan senyum yang menurut Cakka terlalu polos. Cakka mengerutkan keningnya.
“Baiklah, perkenalkan namaku Alvin. Kau bisa memanggilku Alvin. Aku adalah mantan kekasih Agni.” Mata Cakka melebar ketika ia mendengar kata ‘mantan kekasih’ dari mulut pria yang kini ada di hadapannya. Dengan cepat, Cakka layangkan pukulan pada pipi Alvin sehingga membekas biru pada pipinya. Alvin sempat meringis ketika Cakka memukul pipinya, ia pegang pipi yang terasa perih itu.
“Jadi kau pria yang tega mencampakkan Agni itu. Cih! Ternyata kau hanya bocah yang masih labil. Apa kau tahu bahwa Agni sangat sedih saat kau mencampakkannya hanya karena penyakit yang dia derita? Untuk apa kau datang kemari hah? Untuk menyakiti Agni lagi.” Cakka menatap Alvin tajam, pandangannya Cakka sama sekali tak lepas dari mata Alvin. Alvin tersenyum smirk, ia membalas tatapan Cakka.
“Terima kasih atas pukulanmu, Cakka-ssi. Aku datang ke sini dengan niat baik, aku ingin menjenguk Agni. Apa aku tidak boleh menjenguk mantan kekasihku sendiri?” ucap Alvin yang membuat darah Cakka naik.
“Cakka-ssi, aku dan Agni berteman sekarang. Dia sudah memaafkanku karena kebodohanku terdahulu jadi sudah tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi bukan. Lagi pula kami sudah saling bertukar pesan. Bagaimana? Sekarang kita teman.” Alvin mengulurkan tangan kanannya. Cakka masih menatap Alvin dengan tajam, namun sedetik kemudian Cakka menyambut tangan Alvin.
“Aku tahu kau orang baik, Cakka-ssi. Hmm.. aku juga tahu kau sangat mencintai Agni bukan. Aku harap kau dapat membahagiakan Agni di akhir hidupnya. Aku percaya padamu. Baiklah, sepertinya aku harus pulang. Semoga kakimu lekas sembuh, Cakka-ssi. Annyeong.” Alvin terlihat menundukkan badannya disambut Cakka. Alvin tersenyum singkat lalu meninggalkan Cakka yang masih berdiri menatap Alvin yang perlahan menghilang dari pandangannya.
“Aku akan selalu membahagiakan Agni tanpa kau suruh, Alvin-ssi.” gumam Cakka sembari menjalankan tongkatnya menuju ke kamar Agni. Perlahan ia buka pintu kamar Agni dan ia mendapati Agni tengah membaca buku di atas tempat tidurnya. Ketika Agni melihat kedatangan Cakka, ia segera tersenyum dan langsung menutup bukunya serta melepas kacamatanya.
“Kau membawa apa, Cakka-ah?” tanya Agni ketika melihat Cakka datang sambil membawa kotak di dalam kantung plastik di tangannya. Cakka tersenyum simpul lalu duduk – di atas tempat tidur– di hadapan Agni.
“Aku bawakan ini untukmu.” Cakka memberikan kotak itu pada Agni, Agni tampak mengerutkan dahinya dan mengambil kotak itu dari tangan Cakka. Perlahan ia buka kotak itu dan terlihat dua buah cupcakes di dalam kotak itu. Agni semakin tidak mengerti.
“Dua cupcakes itu untuk memperingati 2 minggu pertemanan kita.” sahut Cakka yang membuat senyuman Agni mengembang.
“Cakka-ah, kau ini ada-ada saja. Tidak perlu seperti ini juga. Tapi gomawo (terima kasih *informal*) untuk cupcakes-nya. Kalau dokter memperbolehkan aku memakannya pasti aku akan memakannya.” Agni menaruh cupcakes itu ke atas meja yang terletak di samping tempat tidurnya.
Shireo (aku tidak mau)!! Ucapan terima kasih saja tidak cukup, Agni-ya.” Cakka menggeleng layaknya anak kecil sambil mengerucutkan bibirnya. Agni sampai terkekeh melihat sikap Cakka seperti itu, diacak-acaknya rambut Cakka.
“Jadi kau mau apa dari aku, hmm?” tanya Agni manis. Cakka tersenyum simpul.
“Kau lukiskan wajahku yang tampan ini. Bagaimana?”
Aigoo (Ya ampun), kau narsis sekali Cakka-ah. Baiklah aku akan melukiskan wajahmu yang tampan ini otte. Anggap saja sebagai hadiah karena kau sudah bersedia menjadi temanku.”
“Agni-ya, bagaimana terapimu tadi pagi?” tanya Cakka sembari memainkan poni Agni.
“Melelahkan. Seperti biasa, tubuhku merespon negative pada obat yang masuk ke dalam tubuhku.” Agni menghela nafas cukup panjang lalu menunduk. Cakka menatap Agni nanar, ia tahu Agni pasti sedih dengan kabar ini.
“Aku tahu perasaanmu, Agni-ya. Tenang saja, kau pasti sembuh.” kata Cakka sembari mengusap bahu Agni lembut. Agni kembali mendongakkan kepalanya menatap mata Cakka dalam. Agni tersenyum samar.
“Aku tidak mungkin sembuh, Cakka-ah. Kau sudah tahu itu bukan? Penyakitku adalah penyakit yang sulit disembuhkan.” Cakka menangkupkan kedua tangannya di pipi Agni, ia tatap mata Agni.
“Jangan pernah berpikiran seperti itu, Agni-ya. Ku mohon.” pinta Cakka nanar. Cakka segera mencondongkan badannya ke arah Agni, dipeluknya tubuh Agni dengan hangat. Agni pun tak segan membalas pelukkan Cakka, dibenamkannya kepala Agni pada dada bidang Cakka. Merasakan kedamaian sejenak merasuk di dalam hatinya. Cakka sendiri, ia mengusap kepala dan punggung Agni pelan. Namun ketika ia mengusap kepala Agni, di sela jari-jari Cakka terlihat rambut Agni yang sedikit demi sedikit rontok sehingga membuat rambut Agni semakin menipis. Cakka kembali mengeratkan pelukkannya. Hatinya benar-benar gundah sekarang. Ia belum siap, ia belum siap jika ia harus kehilangan Agni.

***


Agni dan Cakka sedang duduk memandangi taman yang biasa ia datangi bersama-sama. Kini keadaan sudah berbeda, Cakka sudah tidak menggunakan tongkat lagi untuk berjalan dan ia diperbolehkan untuk pulang. Walaupun Cakka sudah tidak lagi inap di rumah sakit, namun ia sangat rajin berkunjung ke rumah sakit hanya sekedar menemani Agni seharian. Karena Cakka tidak ingin Agni merasa kesepian di tempat ini.
“Aku ingin mengajakmu makan, Agni-ya.” Agni menghentikan sejenak acara melukisnya. Ia menatap Cakka di sampingnya yang sudah tersenyum padanya.
“Bukan kah kita selalu makan bersama, Cakka-ah.”
“Bukan itu maksud aku. Aku ingin mengajakmu makan di luar malam ini.”
“Yak apa kau mau aku terkena omel dokter Mario jika aku harus pergi keluar rumah sakit malam-malam hah!” Agni masih sibuk dengan kuas dan kanvasnya.
“Kalau kau sudah dapat ijin dari dokter Mario bagaimana? Aku sudah mengijinkanmu, pabo.” Agni menoleh cepat ke Cakka. Ditatapnya wajah penuh tak berdosa ini lekat-lekat.
“Kau memang penuh kejutan, Cakka-ah.” desis Agni pelan.
“Ya begitulah aku.” puji Cakka pada diri sendiri.
“Kau masih ingat permintaanku padamu bukan?” tanya Cakka memastikan. Agni kembali meletakkan kuasnya di atas palet lalu menatap Cakka.
Ne, aku masih mengingatnya, Cakka-ah. Kau tak perlu bertanya sekali lagi padaku, arraseo.”
“Baiklah, itu berarti ingatanmu masih bagus. Hmm aku harus pulang sekarang. Kau tidak apa kan aku tinggal.”
Gwaenchanayo (Tidak apa-apa). Lagi pula kau sudah menungguku dari pagi bukan. Salamkan salamku untuk Sivia eonnie eo?”
Ne, aku salamkan. Sampai bertemu nanti malam, Agni-ya karena ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu. Annyeong.

***


Agni menatap dirinya yang sudah duduk di meja sebuah tempat makan yang sudah dikatakan Cakka padanya. Cakka memang menyuruh sopirnya untuk menjemput Agni di rumah sakit. Perlahan mata Agni menangkap sosok Cakka yang mengenakan kaos berkerah berwarna hijau muda dengan celana hitam serta rambut yang ia biarkan acak-acakan. Agni tersenyum ketika Cakka sudah berada di hadapannya sekarang.
Mian (maaf) aku terlambat.” kata Cakka yang disambut gelengan kepala dari Agni.
Gwaenchana (Tidak apa-apa).” Agni kembali melemparkan senyuman andalannya pada Cakka. Cakka tersenyum ketika melihat senyuman itu. Senyuman yang sangat Cakka sukai.
“Agni-ya, kau pucat sekali.” Cakka terlihat panik ketika ia baru sadar bahwa ia melihat bibir Agni yang terlihat pucat. Agni hanya menggeleng.
Ani. Aku tidak apa-apa. Tadi kau bilang ingin mengatakan sesuatu padaku. Apa itu?” tanya Agni penasaran. Cakka tersenyum, ia gerakkan tangannya menggenggam tangan Agni yang ada di atas meja. Agni menatap tangan itu lekat-lekat kemudian ia beralih memandang Cakka.
“Cakka-ah…”
“Aku mencintaimu, Agni-ya.” 3 kata tapi mampu membuat Agni membeku. Hatinya serasa ditubruk oleh benda yang sangat berat. Rasa yang selama ini ia hindari harus benar-benar terungkap sekarang. Ditepisnya tangan Cakka yang tengah menggenggamnya.
“Cakka-ah, bukannya kau sudah berjanji padaku.” Agni meneteskan air matanya, ia menatap Cakka tajam.
“Aku tidak pernah berjanji apapun padamu bukan. Janji itu hanya terjadi pada satu pihak yaitu dari dirimu bukan dari diriku.” Agni menggelengkan kepalanya keras.
Shireo! Ini tidak boleh terjadi. Kau tidak boleh mencintaiku, Cakka-ah. Tolong bunuh rasa cintamu itu padaku. Kumohon.” Sekarang giliran Cakka yang menggeleng.
“Perasaan tidak bisa dipaksakan, Agni-ya. Dan ini yang sedang terjadi padaku. Aku tahu kau juga mencintaiku bukan. Aku bisa merasakannya, Agni-ya. Katakan kau juga mencintaiku.” Agni menutup telinganya dengan kedua tangannya. Ia menggeleng sambil menangis.
“Agni-ya, ijinkan aku mencintaimu.” Cakka kini sudah berada di hadapan Agni. Ia rengkuh tubuh Agni, Agni masih menutup telinganya dengan kedua tangannya, air matanya terus menetes dari pelupuk matanya. Bukan ini yang Agni mau, bukan. Dengan cepat Agni mendorong tubuh Cakka menjauh. Ia pandang mata Cakka dengan tajam dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.
“Aku membencimu, Cakka.” Agni beranjak pergi dari tempatnya semula meninggalkan Cakka yang masih diam. Cakka terduduk lemas, ia remas rambutnya.
“Arghhh…” erang Cakka keras sembari memukul meja.
Mianhae, Agni.”

***


Agni terus berlari menyusuri jalanan yang mulai sepi karena hari sudah sangat gelap. Ia mengeratkan mantel yang ia kenakan, air mata terus mengucur deras dari pelupuk matanya. Kakinya sudah tak kuat untuk berlari, nafasnya sudah mulai menipis. Agni jatuh terduduk, hanya menangislah yang menjadi pelarian Agni akan perasaannya saat ini.
“Aku tidak memintamu untuk mencintaiku, Cakka-ah.” gumam Agni pelan diikuti isakan dari bibirnya. Setitik air jatuh membasahi tubuh Agni, Agni mengadahkan kepalanya. Rintik demi rintik air jatuh membasahi jalanan dan juga tubuh Agni. Agni merasakan tubuhnya menggigil kedinginan dan nafasnya menjadi berat. Kepala Agni yang semula hanya pusing mendadak seperti di hantaman palu berukuran besar, ia merasakan sesuatu keluar dari hidungnya, ia raba hidungnya dan ia melihat darah segar mengalir dari sana. Senyuman tercipta di bibir Agni ketika ia melihat darah itu dan semuanya menjadi gelap. Agni tergeletak di tengah hujan yang sangat deras dengan darah yang mengalir dari hidungnya.

***


Cakka melangkahkan kakinya sangat cepat di lorong rumah sakit. Ia baru saja mendapatkan telepon dari Appa Agni dan mengatakan Agni sedang kritis. Ia tak peduli, walaupun sekarang ini pukul 2 pagi tapi ia akan tetap mendatangi Agni. Cakka menjadi merasa bersalah karena ia merasa pada malam itu Agni sedang ada masalah dengan dirinya. Ketika lift terbuka, Cakka segera lari menuju kamar yang sangat ia hafal letaknya. Sesampainya di depan kamar Agni, Cakka melihat Appa dan Eomma Agni tengah duduk di ruang tunggu.
Abeoji (panggilan ayah dari menantu atau kerabat terdekat), bagaimana keadaan Agni?” tanya Cakka mendatangi Appa Agni yang tengah merangkul Eomma Agni.
“Dokter belum keluar dari kamar Agni, Cakka-ah.” Cakka menghela nafas, ia dudukan dirinya di kursi dan ia tatap pintu kamar Agni lekat-lekat. Orang yang begitu ia cintai sedang berjuang menantang maut di ruangan itu. Pertahanan Cakka runtuh, ia menangis. Menyesali apa yang baru saja terjadi. Ini semua karena dirinya.
“Kami menemukan Agni pingsan tergeletak di jalan dekat rumah sakit ini di tengah hujan yang lebat. Saat itu kami khawatir mengapa Agni belum pulang juga maka dari itu kami berniat menyusul Agni, tapi pada saat kami melewati jalan itu, kami melihat seseorang tergeletak di pinggir jalan dan ketika kami mendatangi ternyata itu Agni. Agni pingsan dengan darah yang keluar dari hidungnya. Saat ini Agni kritis. Kami tidak akan menyalahkanmu, Cakka-ah. Aku yakin kau tidak akan membiarkan Agni melakukan hal bodoh itu.”
Cakka kembali merasakan sesak yang luar biasa di hatinya. Diremas dadanya dengan cukup keras, ia bodoh. Ia menyakiti Agni dan ia yang membuat Agni menjadi seperti ini. Air mata Cakka terus menetes, ini sudah gila. Ia benar-benar belum siap kehilangan Agni.
Chagiya, jika kita kehilangan Agni, kita harus kuat eo? Biarkan Agni tenang di sana nantinya.” Cakka mendengar kata itu, kata yang membuat ia mencelos. Kata yang diucapkan Appa Agni untuk Eomma Agni yang membuat tangisan Cakka semakin keras. Cakka segera bangkit dari duduknya dan mendatangi Eomma Agni.
Eommonim (panggilan ibu untuk menantu atau kerabat dekat)joesonghamnida (aku minta maaf *formal*).” Cakka membungkukkan badannya di depan Eomma Agni, Eomma Agni menatap Cakka dengan lekat. Diraihnya tangan Cakka lalu dipeluknya Cakka ke dalam pelukkannya.
“Kau tidak perlu minta maaf padaku, Cakka-ah. Ini semua sudah takdir.” Perlahan Cakka melepaskan pelukkannya itu. Selang beberapa detik ketika Cakka melepaskan pelukkan Eomma Agni, pintu kamar Agni terbuka dan keluarlah dokter Mario dari dalam.
“Dokter, bagaimana kondisi Agni saat ini?” tanya Appa Agni. Dokter Mario hanya menggeleng pelan.
“Kondisi Agni semakin memburuk. Kanker yang menyerang tubuhnya sudah benar-benar menyebar ke dalam sel-sel tubuh Agni. Kami sudah melakukan yang terbaik untuk Agni. Untuk saat ini Agni sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.” Penjelasan dokter Mario sedikit membuat Cakka bernafas lega karena Agni masih bisa bertahan hingga sekarang.
“Apa kami bisa menemuinya, dokter Mario?” tanya Eomma Agni sekali lagi. Dokter Mario mengangguk dan mempersilahkan kedua orang tua Agni untuk masuk ke dalam kamar.
“Lebih baik kau pulang Cakka-ah. Besok pagi kau datanglah kemari lagi. Aku tahu kau lelah bukan?” ucap Appa Agni pada Cakka yang berdiri tepat di sampingnya.
“Tapi Abeoji..’
“Aku akan memberikan waktu lebih banyak padamu untuk bertemu Agni besok.” sela Appa Agni cepat. Cakka mengangguk lesu kemudian ia langkahkan kakinya meninggalkan rumah sakit.

***


Pagi-pagi benar Cakka sudah berada di rumah sakit. Sebuket mawar merah sudah ada di tangannya. Ia menunggu lift yang akan membawanya ke lantai 3, lantai di mana ia akan bertemu dengan pujaan hatinya. Ketika lift itu terbuka, beberapa suster dan dokter mendesak Cakka agar lift yang terbuka itu untuk mereka.
“Ini darurat dokter Mario. Pasien yang bernama Agni kembali memberikan respon negative.” Kata salah satu suster yang sudah berada di dalam lift. Perlahan lift itu menutup, Cakka yang masih di luar masih mencerna perkataan suster tadi. Agni merespon negative? Apa itu artinya Agni sekarang kritis? Dengan gerakan cepat, ia tekan lagi tombol naik itu lagi. Berkali-kali ia tekan namun lift itu tak kunjung terbuka. Ketika salah satu pintu lift terbuka, Cakka segera masuk ke dalam lift itu dan menekan tombol 3. Hatinya kini tampak gelisah, pandangan Cakka tak lepas dari pintu lift di depannya. Ingin rasanya pintu itu cepat-cepat terbuka. Selang beberapa detik pintu lift itu terbuka, segera ia langkahkan kakinya menuju ke kamar Agni. Ia tak peduli dengan sebuket bunga mawar yang ada di tangannya yang ia khawatirkan saat ini adalah Agni. Sesaat setelah sampai di depan kamar Agni, Cakka berhenti dan menatap pintu kamar Agni dengan nanar. Ia raih kenop pintu itu dan ia buka perlahan. Di dalam kamar itu sudah berdiri Appa dan Eomma Agni, tak lupa dokter Mario serta 2 suster. Cakka memandang nanar Agni yang sudah tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur itu. Cakka melihat senyuman tipis yang Agni berikan kepadanya.
Appa..Eomma..Dokter..bisakah kalian meninggalkan aku dengan Cakka sebentar.” pinta Agni lirih. Satu persatu mulai dari dokter, suster, dan kedua orang tua Agni keluar dari kamar Agni. Kini di dalam kamar itu hanya tertinggal Agni dan Cakka. Cakka menatap Agni perih, perlahan ia langkahkan kakinya menuju ke tempat tidur Agni. Ia dudukkan dirinya di samping Agni.
“Aku membawakan mawar merah ini untukmu. Mian sudah tidak berbentuk.” kata Cakka pelan sambil menahan air matanya agar tidak tumpah. Agni tersenyum kecil lalu mengangguk.
“Cakka-ah, aku minta maaf. Mianhae jika selama ini aku mengecewakanmu.” ucap Agni tersenggal-senggal.
Aniyo. Kau tidak perlu meminta maaf padaku, Agni-ya. Justru aku yang seharusnya minta maaf padamu.” sanggah Cakka sembari menggenggam tangan Agni. Agni tersenyum samar.
“Apa kau menyesal berteman denganku?” tanya Agni dengan suara yang sangat lirik. Cakka menggeleng cepat, dieratkan lagi genggaman tangannya pada tangan Agni itu.
“Aku tidak pernah menyesal mengenalmu, Agni-ya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dan berteman denganmu.” Air mata Cakka menetes membasahi pipinya. Dengan tangan bergetar, Agni menyeka air mata yang jatuh di pipi Cakka.
Uljima (jangan menangis). Jangan pernah menangisi kepergianku.” Agni menghela nafas sebentar lalu menatap mata Cakka sendu.
“Sebelum aku benar-benar pergi, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu.” Cakka mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Agni. Satu per satu air mata Cakka jatuh membasahi pipinya. Ia tidak sanggup mendengarkan ini.
“Agni-ya, kajima (jangan pergi). Jebal (ku mohon)!!” Tembok pertahanan Cakka runtuh seketika, haruskah ia benar-benar kehilangan sosok yang begitu ia cintai sekarang.
“Cakka oppa (panggilan perempuan kepada laki-laki yang lebih tua darinya atau kepada laki-laki yang dicintai atau dikagumi)…” kata Agni lirih, nafasnya mulai menipis.
“Jangan katakan itu kumohon. Jangan katakan itu, Agni-ya.”
“Cakka oppasaranghae..” Cakka segera menarik tubuh Agni ke dalam pelukkannya. Tangisannya pecah ketika mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Agni.
Neomu saranghae (Aku sangat mencintaimu), Agni-ya. Neomu neomu saranghae (Sangat Sangat mencintaimu).” Cakka melepas pelukkannya, ia tatap mata Agni yang sudah sembab. Perlahan ia dekatkan wajahnya pada wajah Agni, hingga akhirnya bibir Cakka dan Agni saling bertaut. Cakka menahan tengkuk Agni dengan tangannya sedangkan tangan Agni ia remas pada lengan Cakka dengan erat. Ciuman itu berlangsung cukup lama sampai Cakka merasakan remasan pada lengannya mengendur. Sebuket mawar merah yang semula masih berada di tangan Cakka terjatuh ketika Cakka sama sekali tak mendapatkan respon apapun dari Agni. Air mata Cakka menetes seketika saat ia tidak lagi merasakan hembusan nafas dari Agni. Kini, ia harus benar-benar kehilangan Agni. Selamanya.

***


Cakka menatap nisan yang ada di hadapannya. Makam ini masih basah karena baru beberapa menit yang lalu orang yang begitu ia cintai terbaring di dalam makam ini untuk selama-lamanya. Cakka mengusap nisan itu dengan lembut, senyuman tak lepas dari bibirnya namun air matanya tetap menetes setiap ia menatap nisan yang bertuliskan nama seseorang yang ia cintai itu.
“Cakka-ssi..” Cakka segera mengusap pipinya. Ia menoleh ke arah suara itu berasal dan terlihat Alvin berdiri di belakang Cakka.
“Ada perlu apa, Alvin-ssi?” tanya Cakka yang kembali mengalihkan pandangannya kepada nisan yang ada di depannya.
“Aku hanya ingin memberikan ini padamu. Agni menitipkan ini padaku dan ia memintaku untuk memberikan ini padamu.” Cakka kembali menoleh dan menatap sebuah benda berbentuk persegi panjang yang tertutupi oleh kertas berwarna coklat. Segera ia raih benda itu dan membuka kertas yang membungkus benda itu. Ketika ia membuka kertas itu, Cakka terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ia melihat lukisan gambaran dirinya yang tengah tersenyum memperlihatkan giginya yang rata dan putih. Di bawah lukisan itu terdapat goresan tangan yang bertuliskan “terima kasih sudah mau menjadi temanku, Cakka. Saranghae ^^” Cakka kembali menitikkan air matanya. Lukisan ini, lukisan yang pernah dimintanya pada Agni saat merayakan 2 Minggu pertemanannya.
“Sebelum Agni kritis, ia menitipkan recorder ini pada Appa-nya. Ahjussi menitipkan ini padaku dan memintaku untuk memberikan ini juga padamu.” Alvin menyerahkan sebuah recorder kecil itu pada Cakka. Cakka segera mengambil recorder yang Alvin berikan.
“Aku akan meninggalkanmu sendiri di sini. Annyeong, Cakka-ssi.”
Cakka memandang recorder itu dengan nanar, ia pandangi recorder itu sejenak kemudian ia tekan salah satu tombol yang menurutnya itu adalah tombol untuk memulai.

Annyeong Cakka-ah..” suara itu. Suara yang sangat dirindukan oleh Cakka saat ini. Nafas Cakka sempat terhenti ketika mendengar suara itu. Suara yang selalu membangkitkan semangat Cakka setiap harinya.

Mungkin saat kau mendapatkan rekaman ini aku sudah tidak ada di dunia ini. Aku sengaja membuat rekaman ini karena aku merasa ini waktu yang tepat. Cakka-ah, apa kau tahu menjadi orang berpenyakitan seperti aku ini sangatlah sulit untuk menjalaninya. Aku terlihat sangat lemah dan  aku terlihat sangat menyedihkan. Kau ingat saat aku memintamu untuk tidak pernah jatuh cinta kepadaku. Apa kau ingin tahu alasanku, hmm? Aku memintamu untuk tidak jatuh cinta padaku karena aku tidak ingin kau mendekatiku hanya karena sekedar belas kasihan saja. Aku takut kau akan seperti Alvin yang mencampakkanku. Aku takut hal itu terjadi lagi padaku, Cakka-ah. Aku takut kau meninggalkanku ketika kau tahu tentang penyakitku ini. Mungkin bisa dikatakan aku ini egois tapi inilah aku, aku yang takut sesuatu buruk menimpa diriku. Perlu kau tahu, aku pernah berjanji dan bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan mencintai namja manapun di dunia ini tapi ternyata aku salah. Aku termakan oleh sumpahku sendiri, sejak bertemu denganmu pertama kali, aku sangat tertarik dengan senyumanmu. Dan perlahan rasa itu menjalar hingga tumbuh menjadi rasa cinta. Tapi aku selalu menampik perasaanku itu, aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa kau mendekatiku hanya sekedar belas kasihan saja, tidak lebih.
Cakka mendengar suara Agni yang semakin memelan dan suara nafas yang semakin menipis. Ia perjelas lagi pendengarannya.
Aku berterima kasih padamu, Cakka-ah. Karena di sisa umurku ini kau sudah bersedia memberikan waktu yang indah. Walaupun singkat tapi aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika bersamamu. Gomawo kau sudah menjadi malaikat untukku, gomawo karena kau sudah bersedia menjadi pelindungku, dan gomawo karena kau sudah mau menjadi last memories terindahku. Setelah aku pergi, aku berharap kau menemukan sosok yeoja yang lebih sempurna dari padaku. Sosok yeoja yang lebih mengerti dirimu. Dan satu hal lagi, aku ingin kau merelakanku pergi. Merelakan aku pergi untuk meninggalkanmu selamanya. Terakhir, terima kasih karena kau sudah mencintaiku. Cakka-ah, aku hanya ingin mengatakan satu hal padamu, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu. Saranghae Cakka.”

‘Ceklek’ recorder itu berhenti berputar setelah kata terakhir itu terucap. Air mata Cakka tak henti-hentinya menetes. Ia memandang kembali nisan itu.
“Aku percaya padamu, Agni-ya. Walaupun sekarang kita ada dunia yang berbeda namun aku percaya kau selalu ada di sini, di hatiku. Aku mencintaimu.” ucap Cakka lirih.
-Cinta sejati tidak akan selalu abadi. Cinta sejati tidak pernah memandang dari apapun. Dan cinta sejati tidak akan pernah lelah untuk mencintai.-

%%%

Duhh.. kacau ya jadinya fufufu~ nggak dapet ya feelnya. Kasih tau ya sebenernya ini fanfic maincastnya Cho Kyuhyun sama Cho Hyura, nah Cho Hyura itu Other Cast atau Cho Hyura itu nama Korea-ku kkk~ jadi mianhae kalau agak kacau ceritanya soalnya biasanya aku buatnya pasti Cho Hyura dipairing sama Lee Donghae sih *eh* *ini kenapa curhat* *oke abaikan*
Baiklah, buat yang bisa nebak admin lama di sini siapa, aku bisa kasih hadiah buat kalian. Hadiahnya adalah tanda tangan gratis dari aku *eh*
Kata-kata terakhir, setelah fanfic ini aku post. Aku bener-bener off ya dari fanpage ini. Kan udah ada yang ngurus kkk~ love you all. Kamsa yang udah ngikutin fanfic yang aku buat di fanpage ini dan mianhae karena aku hiatus cukup lama bahkan sangat lama dari fanpage ini. Dan sekarang aku mengundurkan diri dari fanpage ini. Nggak papa kan? J

And last, don’t hate me because this fanfiction ^^

Salam : Lee Donghae’s wife *deep bow*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar